Sudah lima bulan belakangan ini teman saya, sebut saja namanya Wulan, usia 38, lajang, ‘jalan’ dengan seorang pria yang bermimpi jadi seorang pelukis terkenal.
Sebut saja namanya Rangga; eh, jangan deh, nanti saya dikeroyok oleh banyak wanita pencinta Nicholas Saputra. Ya, kita sebut saja namanya Gading, usia 27. Kuliahnya di sebuah institut seni tak kunjung rampung.
Awalnya, perbedaan usia 11 tahun tak jadi masalah bagi Wulan, seorang account manager di sebuah perusahaan periklanan ternama. Gading ibarat magnet yang membuat hati Wulan tersedot-sedot; tampan, nyeni, tak pernah pusing memikirkan hidup, dan sangat yakin bahwa suatu saat nanti ia bakal jadi pelukis terkenal. Bagai bumi dan langit dengan Wulan yang gampang sekali dibikin cemas oleh banyak hal.
“Bersama Gading, hidup terasa jauh lebih sederhana,” katanya kepada saya ketika baru sebulan pacaran, tentunya dengan wajah sumringah khas wanita yang sedang dimabuk cinta.
Tapi itu lima bulan silam. Ketika minggu lalu saya bertemu lagi dengan Wulan, wajahnya terlihat lelah. Benar saja, tak lama kemudian keluar keluh-kesahnya.
“Bukannya aku hitungan, tapi si Gading itu, kok, nggak risih, ya? Setiap kali kami kencan, selalu saya yang bayarin. Mulai dari makan, ke bioskop, sampai ongkos taksi, semua dari dompetku. Padahal bukannya dia tak punya uang sama sekali.
“Aku tahu sesekali dia membantu temannya membuat desain grafis. Memang hasilnya tidak banyak, tapi aku nggak keberatan, sesekali ditraktir dia makan di kaki lima. Tapi ajakan itu bahkan tak pernah keluar dari mulutnya, sementara dia asyik-asyik saja, tuh, saya traktir terus atau dibelikan ini-itu….”