
Ketika terjadi, bullying tak hanya berdampak pada anak, melainkan orang tua mereka.
NURUL RAHMAWATI adalah ibu yang penuh persiapan. Jauh sebelum putranya masuk sekolah dasar, Nurul membekali diri dengan berbagai pengetahuan. Tak terhitung sudah artikel yang dilahap: How to Raise a Dilligent and Smart Kid? 10 Kiat Agar Anak Disiplin, Tips Jitu Anak Secemerlang Einstein, dan banyak lagi.
Waktu itu 2011 ketika Sidqi*, putranya, mulai masuk sekolah dasar. Sidqi baru berusia enam tahun, namun karena IQ yang bagus, Nurul memutuskan mendaftarkan Sidqi. Nurul yakin putra semata wayangnya bisa beradaptasi. Al-Bait* merupakan sekolah dasar yang berlokasi di perkampungan. Ia berjarak 1 km dari tempat tinggal Nurul di kompleks perumahan. Satu alasan Nurul menyekolahkan Sidqi di sana adalah agar ia bisa menunjukkan pada dunia bahwa putranya bisa survive dan berbaur dengan berbagai kalangan. Lagi-lagi, Nurul yakin putranya bisa beradaptasi. Tapi hidup tak semudah di atas kertas.
Sekolah, bagaimanapun, merupakan institusi besar. Ia diisi banyak orang dari berbagai kalangan, dari berbagai latar belakang usia, ekonomi, dan budaya. Alpa nya kehadiran orang tua membuat sekolah menjadi tempat di mana kemampuan beradaptasi anak benar-benar diuji. Dan apa yang diyakini seorang ibu sesungguhnya tidak relevan dengan pengalaman anak.
Nurul mengalaminya. Baru dua-tiga bulan bersekolah, Sidqi mogok. Ia mewek setiap mendengar kata “sekolah”. Dan membujuk Sidqi bukan perkara mudah. “Ibu minta Mas Sidqi sekolah, karena ibu sayang Mas Sidqi,” bujuk Nurul suatu ketika.
“Ibu nggak sayang sama aku!” balas Sidqi.
“Sekolah, ya, Nak. Demi masa depan Mas Sidqi...”
“Nggak! Ibu nyuruh aku sekolah demi kepentingan Ibu!”
Nurul bak disambar petir. Apa yang terjadi? Dugaan Nurul kala itu mengarah pada perilaku bullying. Tapi, sebagaimana banyak orang tua lain, Nurul tak pernah menyaksikan Sidqi dibully (tentu saja!). Tapi ia yakin betul ada yang salah.
Nurul ingat, dalam beberapa kesempatan, Sidqi mengaku jika tas nya sering disembunyikan anak-anak lain. Tapi tidak kah itu hal biasa? Pemikiran itu membuat Nurul menanggapi semua dengan enteng, menganggap semua hanyalah canda, dan bahwa Sidqi adalah anak super hebat yang bisa melalui itu semua. Ia keliru.
APA ITU BULLYING? Bagi sebagian orang, ini pertanyaan yang tidak perlu. Siapa pun yang pernah menjadi korban atau melihatnya terjadi (siapa, sih, yang tidak pernah?) pasti tahu apa yang dimaksud dengan bullying. Bagaimanapun, kenyataannya tak sesederhana itu.Mengacu pada UN Study on Violence against Children (2006), bullying merupakan pola perilaku, bukan satu kejadian yang tidak berhubungan.
Dalam praktik, apa yang tampak sebagai bullying bagi seseorang belum tentu sama di mata orang lain. Ketika kita mengartikan bullying sebagai “perilaku menekan,” misalnya. Di satu waktu, perilaku itu bisa terkesan tega dan termasuk bullying. Namun di lain waktu, perilaku yang sama bisa dianggap wajar atau sekadar bercanda. Tak adanya batasan baku yang menjadi acuan membuat bullying langgeng, tak lekang oleh zaman. Anak di setiap generasi mencicipinya, jika tidak menjadi pelaku. Dan karenanya, ia dianggap sebagai fase yang seolah-olah pasti dan mesti dilalui setiap anak.
Kewajaran itu, pada akhirnya, membuat anak yang mengeluh karena menjadi korban bully kerap dianggap manja dan bermental lemah. Sementara orang tua yang mempermasalahkan bullying akan dianggap atau bahkan merasa diri mereka sendiri berlebihan. Di sinilah definisi untuk bullying menjadi penting. Tanpanya, tak ada yang bisa menjadi acuan saat berdiskusi. Dan jika untuk berdiskusi saja sulit, jangan bermimpi untuk mengentaskannya.
Ken Rigby, dalam buku Children and Bullying (2008), mengajukan sebuah definisi atas bullying, yaitu “the systematic abuse of power in interpersonal relationships.” Penekanan ada pada kata “sistematis”.
“Yang membedakan bullying dengan bercanda adalah repetisi,” tutur Adiyat Yori Rambe, seorang aktivis Sudahdong.com, satu inisiatif anti bullying di Indonesia.
Pendapat senada datang dari Ali Aulia Ramly, Child Protection Specialist dari UNICEF. “Mengacu pada UN Study on Violence against Children (2006), bullying merupakan pola perilaku, bukan satu kejadian yang tidak berhubungan. Anak-anak mungkin bercanda. Namun bila tidak berulang, tidak memiliki pola tertentu, belum dapat dikatakan bullying.”
Bagaimanapun, Ali tak memungkiri bahwa bercanda sekalipun bisa menyakitkan seorang anak, dan mungkin berdampak di kemudian hari.
Menurut Yori, penyebab atau pemicu bullying secara umum ada empat: rasa permusuhan, rasa kurang percaya diri dan atau mencari perhatian, rasa dendam, serta pengaruh media, baik itu televisi, internet, dan sebagainya.