Hidup memang seperti roller coaster. Kadang kita berada di atas; bahagia dan sukses. Di lain waktu, kita berada di bawah: merasa sedih, gagal, dan tidak bahagia. Namun jika tidak bisa mengelola emosi ini dengan benar dan terpuruk pada kesedihan berkepanjangan, akibatnya kita bisa mengalami depresi yang berujung pada bunuh diri.
Mungkin inilah yang terjadi pada aktor dan comedy-legend,Robin Williams. Peraih Piala Oscar untuk kategori Aktor Pendukung Terbaik tahun 1997 di film Good Will Hunting ini ditemukan tewas di rumahnya, di California, AS, Senin (11/8) dini hari waktu setempat. Hasil penyelidikan polisi sementara, aktor berusia 63 tahun ini diduga mengalami kegagalan jantung setelah ia mencoba bunuh diri yang menyebabkan sesak nafas dan kondisi tubuhnya kekurangan oksigen (asphyxiation).
Tak ada yang mengira aktor kocak yang popular dengan perannya di film seperti: Dead Poets Society, Mrs. Doubtfire, Hook, Jumanji, Flubber dan Patch Adams ini, selama puluhan tahun berjuang melawan depresi berat. Sangat ironis, seorang yang pandai membuat orang lain tertawa justru tidak mampu menghibur dirinya sendiri.
Sesungguhnya Robin adalah “sad clown”, yang menyembunyikan kesedihan mendalam di balik wajah lucunya.
Diduga mengalami gangguan bipolar
Dilansir dari dailymail.co.uk, kemampuan untuk membuat orang lain tertawa ternyata juga sering dimiliki oleh penderita gangguan bipolar (dulu sering disebut gangguan manic depression) dan skizofrenia. Gangguan Bipolar (GB) (baca: Kenali Gangguan Bipolar Lebih Dini) ditandai dengan perubahan dua kutub mood –dari super happy menjadi sangat sedih– secara drastis dan berulang kali.
Para penderita GB biasanya mengalami sindrom manic-depressive. Pada saat senang (disebut episode mania) mereka bisa sangat bersemangat, melonjak-lonjak kegirangan dan ingin melakukan banyak hal dengan menggebu-gebu. Kondisi ini membuat mereka terkadang sulit tidur, sulit berkonsentrasi, bahkan bisa lupa diri dan melakukan hal-hal yang impulsif. Seperti belanja tanpa batas, mabuk, ngebut di jalan.
Sementara pada waktu yang lain, mereka bisa berubah menjadi mellow, sangat sedih, merasa tidak berharga, dan putus asa (disebut episode depresi). Mereka jadi tak bergairah hidup sehingga dalam kondisi yang parah, berujung pada bunuh diri atau bahkan membunuh orang lain.
Menurut dr. Suryo Dharmono, SpKJ (K), psikiater dari RS Cipto Mangunkusumo, gangguan bipolar (GB) memang cenderung lebih besar dialami di kalangan para pekerja seni, yang sering melibatkan unsur perasaan dalam berkarya. Termasuk komedian.
Bagi para komedian, seperti diungkapkan para peneliti dari Oxford University dan Berkshire Healthcare NHS Foundation Trust, membuat orang lain tertawa merupakan salah satu bentuk self-medication bagi para komedian ini untuk mengangkat mood mereka. Karena tuntutan profesi, mereka cenderung memaksakan diri untuk melucu. Pertentangan antara “emosi palsu” dengan “emosi sebenarnya” ini memicu stres dan depresi yang dapat mengganggu kesehatan mental mereka.
Bisa berujung bunuh diri
Dalam penelitian yang dimuat dalam the British Journal of Psychiatry, para peneliti menyatakan bahwa komedian memiliki skor yang lebih tinggi untuk memiliki gangguan psikosis dibandingkan dengan populasi masyarakat lainnya. Kondisi gangguan kepribadian ini, kata dr, Suryo, jika tidak cepat ditangani oleh psikiater dengan tepat, dapat ‘kambuh’ sewaktu-waktu dan bertambah parah sehingga dapat berakibat fatal pada tindakan bunuh diri seperti yang dialami Kurt Cobain (penyanyi Grup Nirvana) dan Robin Williams.
Walaupun hubungan antara pekerjaan dan kecenderungan bunuh diri masih bersifat spekulatif, peneliti kasus bunuh diri, Steven Stack dari Wayne State University menunjukkan angka bunuh diri mencapai 3% dari penyebab kematian seniman, termasuk komedian (angka bunuh diri mencapai 1.5 % dari total kematian di Amerika Serikat). Tak jarang para komedian ini juga cenderung menganggap sepele masalah serius dalam hidup mereka, terutama yang terkait dengan kesehatan. Sebagai salah satu cara pelarian mereka adalah dengan mengonsumsi obat-obatan maupun alkohol.
Seperti ditulis dalam situs TMZ, Robin juga mengalami kecanduan obat dan alkohol. Ia pernah mengikuti program rehabilitasi untuk mengatasi ketergantungan kokain dan penyalahgunaan alkohol di awal 1980-an. Dan pada tahun 2009 lalu, ia sempat menjalani operasi bedah jantung. Sebelum meninggal dunia, ayah tiga anak yang mengawali kariernya di dunia seni peran lewat sitkom “Happy Days” dan “Mork & Mindy” yang hits di era 70an ini kembali ke layar kaca dengan membintangi serial sitkom berjudul The Crazy Ones.
Mungkin inilah yang terjadi pada aktor dan comedy-legend,Robin Williams. Peraih Piala Oscar untuk kategori Aktor Pendukung Terbaik tahun 1997 di film Good Will Hunting ini ditemukan tewas di rumahnya, di California, AS, Senin (11/8) dini hari waktu setempat. Hasil penyelidikan polisi sementara, aktor berusia 63 tahun ini diduga mengalami kegagalan jantung setelah ia mencoba bunuh diri yang menyebabkan sesak nafas dan kondisi tubuhnya kekurangan oksigen (asphyxiation).
Tak ada yang mengira aktor kocak yang popular dengan perannya di film seperti: Dead Poets Society, Mrs. Doubtfire, Hook, Jumanji, Flubber dan Patch Adams ini, selama puluhan tahun berjuang melawan depresi berat. Sangat ironis, seorang yang pandai membuat orang lain tertawa justru tidak mampu menghibur dirinya sendiri.
Sesungguhnya Robin adalah “sad clown”, yang menyembunyikan kesedihan mendalam di balik wajah lucunya.
Diduga mengalami gangguan bipolar
Dilansir dari dailymail.co.uk, kemampuan untuk membuat orang lain tertawa ternyata juga sering dimiliki oleh penderita gangguan bipolar (dulu sering disebut gangguan manic depression) dan skizofrenia. Gangguan Bipolar (GB) (baca: Kenali Gangguan Bipolar Lebih Dini) ditandai dengan perubahan dua kutub mood –dari super happy menjadi sangat sedih– secara drastis dan berulang kali.
Para penderita GB biasanya mengalami sindrom manic-depressive. Pada saat senang (disebut episode mania) mereka bisa sangat bersemangat, melonjak-lonjak kegirangan dan ingin melakukan banyak hal dengan menggebu-gebu. Kondisi ini membuat mereka terkadang sulit tidur, sulit berkonsentrasi, bahkan bisa lupa diri dan melakukan hal-hal yang impulsif. Seperti belanja tanpa batas, mabuk, ngebut di jalan.
Sementara pada waktu yang lain, mereka bisa berubah menjadi mellow, sangat sedih, merasa tidak berharga, dan putus asa (disebut episode depresi). Mereka jadi tak bergairah hidup sehingga dalam kondisi yang parah, berujung pada bunuh diri atau bahkan membunuh orang lain.
Menurut dr. Suryo Dharmono, SpKJ (K), psikiater dari RS Cipto Mangunkusumo, gangguan bipolar (GB) memang cenderung lebih besar dialami di kalangan para pekerja seni, yang sering melibatkan unsur perasaan dalam berkarya. Termasuk komedian.
Bagi para komedian, seperti diungkapkan para peneliti dari Oxford University dan Berkshire Healthcare NHS Foundation Trust, membuat orang lain tertawa merupakan salah satu bentuk self-medication bagi para komedian ini untuk mengangkat mood mereka. Karena tuntutan profesi, mereka cenderung memaksakan diri untuk melucu. Pertentangan antara “emosi palsu” dengan “emosi sebenarnya” ini memicu stres dan depresi yang dapat mengganggu kesehatan mental mereka.
Bisa berujung bunuh diri
Dalam penelitian yang dimuat dalam the British Journal of Psychiatry, para peneliti menyatakan bahwa komedian memiliki skor yang lebih tinggi untuk memiliki gangguan psikosis dibandingkan dengan populasi masyarakat lainnya. Kondisi gangguan kepribadian ini, kata dr, Suryo, jika tidak cepat ditangani oleh psikiater dengan tepat, dapat ‘kambuh’ sewaktu-waktu dan bertambah parah sehingga dapat berakibat fatal pada tindakan bunuh diri seperti yang dialami Kurt Cobain (penyanyi Grup Nirvana) dan Robin Williams.
Walaupun hubungan antara pekerjaan dan kecenderungan bunuh diri masih bersifat spekulatif, peneliti kasus bunuh diri, Steven Stack dari Wayne State University menunjukkan angka bunuh diri mencapai 3% dari penyebab kematian seniman, termasuk komedian (angka bunuh diri mencapai 1.5 % dari total kematian di Amerika Serikat). Tak jarang para komedian ini juga cenderung menganggap sepele masalah serius dalam hidup mereka, terutama yang terkait dengan kesehatan. Sebagai salah satu cara pelarian mereka adalah dengan mengonsumsi obat-obatan maupun alkohol.
Seperti ditulis dalam situs TMZ, Robin juga mengalami kecanduan obat dan alkohol. Ia pernah mengikuti program rehabilitasi untuk mengatasi ketergantungan kokain dan penyalahgunaan alkohol di awal 1980-an. Dan pada tahun 2009 lalu, ia sempat menjalani operasi bedah jantung. Sebelum meninggal dunia, ayah tiga anak yang mengawali kariernya di dunia seni peran lewat sitkom “Happy Days” dan “Mork & Mindy” yang hits di era 70an ini kembali ke layar kaca dengan membintangi serial sitkom berjudul The Crazy Ones.
Shinta Kusuma