Meski sebetulnya mengantuk (karena harus berangkat dari Jakarta dini hari), nyatanya saya tidak dapat memejamkan mata saat melewati Jalan Raya Padang-Bukittinggi. Ada banyak obyek wisata menarik di sepanjang jalan, yang sangat sayang jika dilewatkan.
Yang pertama adalah Lembah Anai, salah satu kawasan cagar alam di Sumatera Barat. Yang terhampar di depan mata adalah pemandangan pegunungan, rimba, dan ngarai molek yang diselimuti warna hijau dan sesekali diselingi warna putih saat kabut turun. Cocok untuk mengistirahatkan mata yang lelah.
Yang tak kalah membetot perhatian adalah sebuah air terjun alam yang letaknya persis di pinggir jalan raya, yaitu Air terjun Lembah Anai. Karena banyak yang terpikat untuk berfoto di samping air terjun setinggi 50 meter ini, akhirnya dibuat perhentian resmi di dekatnya. Tiket masuknya hanya Rp2.000. Dijamin akan menjadi profile picture yang indah di facebook Anda.
Obyek lainnya adalah Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang, kota kecil di antara Padang dan Bukittinggi. Bangunan yang berbentuk rumah gadang bagonjong (rumah tradisional Minangkabau dengan ‘tanduk’ di kedua ujung atapnya) ini fungsinya mirip museum: menyimpan segala informasi tentang Sumatera Barat. Di tempat ini kita juga dapat menyewa pakaian adat Minang dan berfoto di depan pelaminan atau rumah gadang. Biaya sewa pakaian adat hanya Rp25.000, dan ada petugas yang akan membantu kita berpakaian. Konsepnya persis seperti penyewaan kostum tradisional Belanda di Volendam.
Saya sempat khawatir saat harus mengenakan hiasan kepala (suntiang) yang kabarnya berat sekali itu. Soalnya, teman saya yang menikah dengan adat Minang mengaku menderita ‘sakit kepala tingkat tinggi’ setelah memakai hiasan kepala tersebut selama sehari penuh. Untungnya suntiang yang disewakan di sini sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Selain ringan, memakainya juga semudah memakai bandana. Namun pakaiannya tetap berlapis-lapis, sehingga saya tak mau lama-lama memakainya. Gerah!
Selesai berfoto dengan pakaian adat Minang, saya melaju ke warung (lapau) Sate Mak Syukur, masih di Padang Panjang. Hmm…, ini rupanya sate padang legendaris yang menjadi buah bibir banyak orang ini. Memang rasanya lain dengan sate padang yang biasa saya makan di Jakarta. Selain potongan dagingnya besar-besar, bumbunya lebih terasa, dan aroma cengkehnya sangat kental. Promosi itu ternyata tidak bohong. Memang nikmat!