Selanjutnya saya mampir ke Desa Pandai Sikek, pusat perajin tenun songket minang. Kalau sempat memperhatikan uang Rp5.000 zaman dahulu, di situ sudah tercantum gambar perajin tenun Pandai Sikek. Ya, tempat ini sejak dulu memang sudah tersohor dengan tenunannya yang indah.
Seorang perajin yang umumnya wanita bisa menghabiskan waktu hingga 3 bulan untuk menghasilkan selembar kain tenun. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan di rumah, dengan demikian sang penenun bisa menurunkan keahlian menenun kepada anak perempuannya sejak kecil. Cara inilah yang membuat generasi penenun di Pandai Sikek tetap eksis dari masa ke masa.
Selembar kain tenun Pandai Sikek bisa berharga jutaan rupiah. Mata yang jeli akan mampu membedakan mana yang tenunan tangan dan mana yang buatan mesin. Namun, harga tidak hanya ditentukan oleh karya tangan atau mesin, tapi juga dari kerumitan motif, banyaknya benang yang digunakan, serta jenis kainnya. Songket berbahan dasar sutra harganya tentu lebih mahal.
Bila tidak berminat membeli kain songket, di Pandai Sikek juga bisa ditemukan bahan bordir dan sulam. Mulai dari kebaya, mukena, tas, hingga kopiah. Tentu menawar wajib hukumnya, meskipun untuk karya yang dibuat dengan tangan rasanya tidak tega menawar terlalu rendah.