Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!Negeri roh leluhur

Dari Pasar Tedong, dengan mobil sewaan, kami beranjak ke luar kota, menuju Desa Londa. Mungkin inilah yang dimaksud Gibson 'bertualang di dunia roh'. Dari kejauhan, tampak perbukitan yang dikelilingi hutan dan sawah. Bukit itu sepintas terlihat seperti 'apartemen' bertingkat dengan sejumlah 'balkon' di tebing-tebingnya, di mana sejumlah anggota keluarga tampak sedang duduk-duduk santai.
Bukit Londa memang bukan bukit biasa, melainkan sebuah kompleks 'pemakaman' keluarga dari marga Tolengke, salah satu keluarga terkemuka di Tana Toraja. Yang terlihat seperti balkon-balkon rupanya adalah pemakaman. Setelah diupacarakan, jenasah dimasukkan ke dalam peti mati, lalu dikerek ke atas tebing untuk disemayamkan di ketinggian yang bisa mencapai 70 meter dari permukaan tanah. Sejumlah boneka dari kayu (tao-tao) –dipahat menyerupai dan seukuran manusia, pria dan wanita-- dijejerkan di 'balkon' tebing, lengkap dengan pakaiannya yang diganti setahun sekali, tentunya dengan upacara tertentu.
Tak hanya di tebing-tebing bukit, jenasah juga disemayamkan di dalam relung-relung gua di kaki bukit. Dengan bantuan lampu petromaks dan pemandu setempat, saya menyusuri gua yang gelap, terjal, dan lembap itu. Meski cukup siap mental –karena sudah diberitahu oleh Gibson-- tak urung saya terkaget-kaget juga saat memasukinya. Tak perlu masuk jauh ke dalam, di depan mulut gua pun sudah bergeletakan puluhan peti mati –yang masih baru maupun yang sudah lapuk.



