Yang lebih dahsyat, dari peti-peti mati yang sudah hancur dimakan usia itu, bergeletakan tengkorak dan tulang belulang manusia. Ada yang 'nyangkut' di ceruk dinding gua, ada pula yang tergeletak begitu saja di lantai gua. Di salah satu sudut, saya melihat dua tengkorak diletakkan berdampingan. Menurut pemandu, itu adalah tengkorak sepasang pengantin baru yang terpaksa kawin lari karena tidak direstui adat, dan keduanya bunuh diri.
Tapi, anehnya, meski suasananya gelap dan dikelilingi tulang belulang manusia, saya tak merasa takut sedikit pun. Pasalnya, tidak seperti di Jawa yang doyan memistikasi hal-hal seperti itu, di Toraja hal itu dianggap biasa saja. Tidak ada kesan suwung, tak ada kuncen, tak ada bau dupa atau orang bersemedi, juga tak ada syarat-syarat khusus yang harus ditaati pengunjung untuk memasuki gua tersebut. Misalnya harus mengenakan pakaian tertentu. Bahkan, saya melihat sekelompok anak muda ribut dan cekikikan sembari berpose di antara tengkorak-tengkorak. Satu-satunya yang saya takutkan adalah kalau secara tak sengaja kaki saya menginjak atau menendang tulang belulang itu.
Meski umumnya masyarakat Toraja adalah jemaat Gereja Kristen Toraja –gereja ada di hampir setiap satu kilometer-- dalam kehidupan sehari-hari banyak di antara mereka, terutama kalangan tua, yang masih menganut kepercayaan lama, yaitu Aluk Tao Dolo (pemujaan terhadap roh leluhur). Bagi mereka, para roh leluhur itu adalah bagian dari mereka dan ada di sekitar mereka. Tak heran bila di depan tulang belulang itu umum terlihat sesajen berupa rokok, air mineral dalam botol atau gelas, serta biskuit.
Bahkan, bila ada anggota keluarga yang meninggal dan belum sempat dimakamkan (karena biayanya belum cukup), maka jenasahnya –sudah diawetkan dengan formalin-- disemayamkan di dalam rumah. Lamanya bisa 1-2 tahun. Karena belum dikuburkan, almarhum dianggap masih hidup, hanya sedang sakit. Karena itulah, setiap hari, tiga kali sehari, jenasah 'diberi' sepiring nasi plus lauk pauk, segelas kopi atau teh, sirih, serta rokok. Nah, kalau disuruh samen leven bersama jenasah kayak gitu, mungkin saya langsung mati berdiri!