Berkeliling Desa Deri adalah tujuan kami selanjutnya, lagi-lagi untuk 'berburu' kuburan, yang kali ini berupa kuburan batu yang unik. Dari kejauhan, di sepanjang jalan atau di tengah ladang, saya melihat banyak onggokan batu alam seukuran mobil. Bila Anda menemukan batu-batu yang di depannya ada salib, karangan bunga imitasi, foto-foto dalam bingkai, cuplikan doa dari Injil, dan batang-batang lilin yang sudah meleleh, dapat dipastikan itu adalah kuburan.
Menurut Gibson, di Tana Toraja nyaris tidak ada area pekuburan khusus seperti di daerah lain di Indonesia. Orang Toraja dari kalangan kebanyakan, bila meninggal, biasanya cukup dikuburkan di dalam batu-batu alam yang banyak berserakan. Caranya, batu itu 'dibolongi' dengan ditatah, ukurannya bisa sebesar kamar 3 X 3 meter, tergantung ukuran batunya. Konon, untuk membuat satu ruangan perlu waktu 6 bulan hingga satu tahun!
“Mungkin ini kebijaksanaan leluhur tentang penghematan lahan. Kalau dipakai buat kuburan seperti di daerah lain, bisa-bisa habis lahan kami untuk bertani,” ujar Gibson. Sayangnya, belakangan ini mulai bermunculan kuburan-kuburan modern dari semen dan beton. Tak jarang makam model baru itu didesain sangat mewah, lengkap dengan pilar-pilar dari batu pualam. Makam beton ini biasanya dibangun oleh orang-orang Toraja yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain. Mungkin demi alasan praktis, tapi kabarnya juga demi gengsi dan modernitas.
Satu kuburan batu biasanya berisi jenasah satu keluarga atau sekitar 6-8 orang. Anak perempuan dari suatu keluarga, meskipun sudah bersuami, jenasahnya tetap digabung dalam kuburan keluarga dari pihak ayah. Begitu pentingnya arti kuburan bagi masyarakat Toraja, sehingga dianggap sebagai 'rumah kedua' (tongkonan tang merambu = rumah tak berasap) mereka.
Bahkan, meski meninggalnya di luar negeri sekalipun, jenasah putra asli Toraja wajib dibawa pulang dan dimakamkan di kampung halamannya. Inilah salah satu yang membuat biaya kematian di Toraja sangat mahal.
(bersambung)
Tina Savitri