4. Cao Dai Temple
Karena searah, dari Cu Chi Tunnel kami melanjutkan perjalanan ke Cao Dai Temple. Berlokasi di Tay Ninh, Cao Dai (disebut juga Tahta Suci Tay Ninh) adalah sebuah agama baru yang dibentuk di Tay Ninh pada 1926. Para pengikutnya percaya bahwa ajaran Cao Dai diturunkan langsung oleh Tuhan. Pengikutnya ada sekitar 3 juta orang di Vietnam dan di berbagai negara lain.
Cao Dai dianggap sebagai agama asli Vietnam, meskipun penganutnya terbatas di Vietnam Selatan. Di Vietnam sendiri mayoritas rakyatnya menganut Buddha dan Katolik (agama terbesar kedua). Cao Dai menggabungkan 7 ajaran agama. Tempat ibadah ini tidak mirip kuil, malah lebih mirip gereja, walaupun ornamen di dalamnya tetap khas kuil. Setiap pukul 12 siang, para penganutnya akan bersembahyang di tempat ini.
Ketika kami tiba di sana, ibadah sudah berlangsung kira-kira 30 menit, dengan kata lain, kami terlambat. Namun tidak berarti kami kehilangan momen. Prosesi ibadahnya masih bisa kami saksikan. Mereka mengenakan pakaian serbaputih. Untuk penganut agama lain yang ingin ambil bagian diharuskan mengenakan jubah warna lain. Warna biru untuk penganut Taoisme, merah untuk Kristen Protestan, dan kuning untuk Buddha.
Keheningan ibadah dan rapinya barisan jamaah di Cao Dai mirip seperti ketika kami sedang apel di sekolah dulu. Apel datang dan apel pulang adalah 'menu' wajib Korps Putri Tarakanita hingga sekarang. Balik kanan, teriak: tu wa ga pat, siang semua! adalah salam perpisahan korps yang kental nuansa semi militer ini. Ketika ibadah selesai dan para jamaah bubar, rasanya kami semua ingin berteriak, “Tu wa ga pat, siang semuaaaaa!”
Cao Dai dianggap sebagai agama asli Vietnam, meskipun penganutnya terbatas di Vietnam Selatan. Di Vietnam sendiri mayoritas rakyatnya menganut Buddha dan Katolik (agama terbesar kedua). Cao Dai menggabungkan 7 ajaran agama. Tempat ibadah ini tidak mirip kuil, malah lebih mirip gereja, walaupun ornamen di dalamnya tetap khas kuil. Setiap pukul 12 siang, para penganutnya akan bersembahyang di tempat ini.
Ketika kami tiba di sana, ibadah sudah berlangsung kira-kira 30 menit, dengan kata lain, kami terlambat. Namun tidak berarti kami kehilangan momen. Prosesi ibadahnya masih bisa kami saksikan. Mereka mengenakan pakaian serbaputih. Untuk penganut agama lain yang ingin ambil bagian diharuskan mengenakan jubah warna lain. Warna biru untuk penganut Taoisme, merah untuk Kristen Protestan, dan kuning untuk Buddha.
Keheningan ibadah dan rapinya barisan jamaah di Cao Dai mirip seperti ketika kami sedang apel di sekolah dulu. Apel datang dan apel pulang adalah 'menu' wajib Korps Putri Tarakanita hingga sekarang. Balik kanan, teriak: tu wa ga pat, siang semua! adalah salam perpisahan korps yang kental nuansa semi militer ini. Ketika ibadah selesai dan para jamaah bubar, rasanya kami semua ingin berteriak, “Tu wa ga pat, siang semuaaaaa!”