Karena terbiasa mengikuti serial The Criminal Minds di TV, saya tidak kaget lagi dengan film-film bertema psycho-thriller seperti itu. Yang biasanya menampilkan orang-orang yang di permukaan tampak normal bahkan termasuk orang baik, ternyata jauh di dalam adalah seorang psikopat. Namun, saya harus memuji keberanian Indra Birowo dan kawan-kawan mengangkat tema dark romance seperti itu ke layar lebar nasional, yang saat ini didominasi dengan film-film religi, komedi, dan remaja yang mulai membosankan. Baim Wong juga cukup berhasil memerankan sosok psikopat yang dibalut wajah santun dan tampan. Ia mampu menampilkan transformasi secarahalus lewat mimik wajah dari seorang pria normal yang baik hati menjadi seorang psikopat berdarah dingin. Namun Salvita Decorte, meskipun bermain lumayan dalam adegan-adegan serius, kurang hot dan menggoda sebagai pelacur yang dianggap primadona dan diperebutkan banyak pelanggan.
Meskipun demikian, menurut saya, logika cerita yang ditulis oleh Priesnada Dwi Satria dan Ilya Sigma ini di sana-sini masih banyak yang agak tak masuk akal. Antara lain, tak dijelaskan bagaimana bocah umur 10 tahunan yang sebatang kara itu tumbuh besar sendirian, bersekolah, dari mana biayanya, dan sebagainya. Atau betapa bodohnya polisi kita karena sampai tidak tahu tentang peristiwa pembunuhan ibu Tuta, karena kemudian muncul adegan sepintas Tuta kecil tengah mengubur sendiri jazad ibunya di halaman rumah mereka. Juga agak aneh melihat gadis-gadis muda yang katanya high class prostitute, ternyata ‘hanya begitu-begitu saja’, begitu juga para pelanggan mereka.
Seorang psikopat memang punya logika yang kadang sulit dipahami apalagi diterima oleh orang biasa. Namun logika sebuah cerita – cerita tentang psikopat sekalipun — tetap harus bisa diterima akal. JK Rowling boleh saja mengangkat dunia sihir yang penuh keajaiban dan keanehan dalam Harry Potter, namun ia tetap menghormati logika cerita, sehingga penonton atau pembaca tidak merasa sedang dibodohi.
Tina Savitri
Foto: 700 Pictures



