Dari bandara, dalam perjalanan menuju pusat keramaian Kisar, saya disuguhi pemandangan bukit savana, lalu bukit rumput berbatu, dan rumah-rumah penduduk semi permanen yang hampir semuanya ditumbuhi pohon koli. Pohon koli memang tumbuh subur di tanah yang didominasi berbatuan dan bertekstur keras. Berkat sopi, masyarakat Kisar banyak yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi di Kupang, Ambon, bahkan Pulau Jawa. Beberapa penduduk mengisahkan, tak ada catatan sejarah warga Kisar membuat keonaran karena mabuk sopi. Menurut mereka, yang mabuk dan membuat keonaran adalah pendatang dari luar, terutama dari Pulau Jawa.
Selain sopi, pohon jeruk kisar juga tumbuh subur di Pulau Kisar. Jeruk kisar memang banyak dijual di Provinsi Maluku, tapi menikmatinya langsung di pulau penghasilnya, tentu lain sensasinya. Ukurannya mirip jeruk bali dan warnanya kuning lemon, tapi rasanya segar dan manis sekali.
Lain Kisar, lain lagi Letti. Pulau yang sinyal telepon selular baru muncul bila menaiki bukit ini menyuguhkan sopi dalam gelas dari bambu. Sopi dialirkan dari potongan bambu yang sudah dibersihkan dan dibentuk seperti pipa pendek, lalu dituangkan ke gelas bambu berukuran kecil. Kali ini saya hanya mencicip seseruput saja karena hidung saya sudah keburu mencium bau tajam sopi dan ujung lidah saya sudah mencicipi rasa yang lebih asam, lebih pahit, dan lebih panas dibanding sopi dari Kisar. Sekali lagi, di bawah matahari yang kali ini bagai menusuk tulang saking panasnya, saya meningkatkan suhu tubuh dengan menyeruput sopi. Tak apa, karena setelahnya para tetua dan penari adat yang bertelanjang kaki meneriakkan, “Kalwedo!” lalu menjabat erat tangan kami dan langsung menari bersemangat menyambut kedatangan kami.
[bersambung]
Monika Erika