Aku segera memeriksakan diri ke pusat deteksi kanker untuk meyakinkan benjolan ini serius atau tidak. Hasilnya, benjolan itu tumor, meski secara perabaan tidak ganas.
Dan, aku harus melakukan mamografi seminggu kemudian. Dalam seminggu itu, aku berusaha meminta saran kepada beberapa orang, antara lain ayahku (seorang dokter) dan Mirna. Tetapi karena saat itu Mirna sendiri sedang menjalani proses penyembuhan di Belanda, aku mencoba mengikuti saran pengobatan dari berbagai sumber, yang medis maupun non-medis.
Tanpa terasa enam bulan waktu berjalan, hingga aku merasa harus segera memeriksakan diri lebih intensif ke Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Mulanya aku hanya ingin memperoleh data medis untuk dibawa ke Belanda seperti saran Rahim, suami Mirna. Stresku bertambah ketika ditemukan benjolan lain di ketiak. Setelah berkonsultasi dengan dokter ahli onkologi di sana, aku lebih tenang karena mendapat gambaran lebih lengkap tentang proses penyembuhan yang harus kujalani.
Menurutnya, jika ukuran benjolan cukup besar, apalagi terbukti ganas, dokter mana pun pasti akan mengambil tindakan sama, yaitu: mastektomi (pengangkatan payudara). Maka, setelah berdiskusi dengan keluarga, aku memutuskan untuk operasi di Jakarta saja.
Dari hasil biopsi, benjolan di payudaraku memang ganas, sehingga dokter harus melakukan mastektomi. Sebelumnya aku meminta dokter untuk membicarakan kondisi ini dengan suamiku. Ia juga berhak untuk mengambil keputusan ini. Aku sendiri ikhlas jika salah satu payudaraku harus diangkat. Penderitaanku belum berakhir, karena di antara 14 kelenjar getah beningku ditemukan 7 anak sebar, sehingga harus segara diambil juga.
Tetapi proses yang paling berat adalah pascaoperasi, yaitu kemoterapi. Efeknya sangat tidak nyaman. Aku pun terpaksa cuti kerja selama beberapa hari. Enam kali kemoterapi membuat rambutku rontok. Terkadang aku menangis melihat penampilanku di cermin.
Dan, aku harus melakukan mamografi seminggu kemudian. Dalam seminggu itu, aku berusaha meminta saran kepada beberapa orang, antara lain ayahku (seorang dokter) dan Mirna. Tetapi karena saat itu Mirna sendiri sedang menjalani proses penyembuhan di Belanda, aku mencoba mengikuti saran pengobatan dari berbagai sumber, yang medis maupun non-medis.
Tanpa terasa enam bulan waktu berjalan, hingga aku merasa harus segera memeriksakan diri lebih intensif ke Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Mulanya aku hanya ingin memperoleh data medis untuk dibawa ke Belanda seperti saran Rahim, suami Mirna. Stresku bertambah ketika ditemukan benjolan lain di ketiak. Setelah berkonsultasi dengan dokter ahli onkologi di sana, aku lebih tenang karena mendapat gambaran lebih lengkap tentang proses penyembuhan yang harus kujalani.
Menurutnya, jika ukuran benjolan cukup besar, apalagi terbukti ganas, dokter mana pun pasti akan mengambil tindakan sama, yaitu: mastektomi (pengangkatan payudara). Maka, setelah berdiskusi dengan keluarga, aku memutuskan untuk operasi di Jakarta saja.
Dari hasil biopsi, benjolan di payudaraku memang ganas, sehingga dokter harus melakukan mastektomi. Sebelumnya aku meminta dokter untuk membicarakan kondisi ini dengan suamiku. Ia juga berhak untuk mengambil keputusan ini. Aku sendiri ikhlas jika salah satu payudaraku harus diangkat. Penderitaanku belum berakhir, karena di antara 14 kelenjar getah beningku ditemukan 7 anak sebar, sehingga harus segara diambil juga.
Tetapi proses yang paling berat adalah pascaoperasi, yaitu kemoterapi. Efeknya sangat tidak nyaman. Aku pun terpaksa cuti kerja selama beberapa hari. Enam kali kemoterapi membuat rambutku rontok. Terkadang aku menangis melihat penampilanku di cermin.