Yang lebih kupikirkan adalah, apakah aku masih menarik di mata suami dalam keadaan seperti ini? Hampir saja aku menyetujui tawaran rumah sakit untuk melakukan implantasi payudara. Tetapi, dengan bijak suamiku berkata, 'Kalau hal itu membuatmu minder dan merasa perlu operasi, ya lakukan. Kalaupun tidak mau, ya tidak masalah. Semua tergantung kamu, Mir, bukan saya.' Aku lega dan bahagia sekali mendengarnya. Aku memang sudah lelah berkali-kali dioperasi. Aku lebih senang menerima tubuhku apa adanya, tanpa rekayasa apapun. Bagiku yang terpenting adalah menjaga kesehatan, bukan penampilan.
Syukurlah perasaanku terhibur karena bisa sharing dengan beberapa teman yang cancer survivor. Bahkan salah seorang di antara mereka membawakan sebuah buku khusus tentang kemoterapi agar aku lebih siap mental.
Di saat itu, lagi-lagi aku kaget dan cemas, ketika mendengar kabar bahwa sahabatku Rusmeini (sering dipanggil Yus), menemukan benjolan pada payudaranya. Heran, mengapa banyak teman sekuliahku yang mengalami nasib sama? Setidaknya 5 orang terkena kanker payudara, ada yang bertahan, ada yang sudah meninggal dunia. Aku berdoa dalam hati agar Yus bisa melewati masa-masa kritisnya dengan baik.
Sebulan kemudian aku sangat bahagia mendengar kembali suara Yus di telepon. Ia bercerita soal operasi ‘kilatnya' di Singapura. Aku kagum dengan kemandiriannya dalam mengambil keputusan dan menjalani operasi sendiri, tanpa didampingi keluarga. Alhasil kami jadi sering saling 'curhat'.
Sejak itu aku tidak merasa sendiri dalam perjuangan ini. Rasa percaya diriku mulai pulih. Setidaknya aku bisa menutupi kepala botakku dengan wig ketika harus memberi presentasi atau seminar. Tetapi perubahan yang paling mendasar adalah aku jadi lebih menghargai diriku sendiri. Kini, aku juga lebih menikmati hari-hariku membantu beberapa komunitas cancer survivor, sebagai pembicara seminar, konselor, atau teman curhat dengan sesama penderita kanker.”
Syukurlah perasaanku terhibur karena bisa sharing dengan beberapa teman yang cancer survivor. Bahkan salah seorang di antara mereka membawakan sebuah buku khusus tentang kemoterapi agar aku lebih siap mental.
Di saat itu, lagi-lagi aku kaget dan cemas, ketika mendengar kabar bahwa sahabatku Rusmeini (sering dipanggil Yus), menemukan benjolan pada payudaranya. Heran, mengapa banyak teman sekuliahku yang mengalami nasib sama? Setidaknya 5 orang terkena kanker payudara, ada yang bertahan, ada yang sudah meninggal dunia. Aku berdoa dalam hati agar Yus bisa melewati masa-masa kritisnya dengan baik.
Sebulan kemudian aku sangat bahagia mendengar kembali suara Yus di telepon. Ia bercerita soal operasi ‘kilatnya' di Singapura. Aku kagum dengan kemandiriannya dalam mengambil keputusan dan menjalani operasi sendiri, tanpa didampingi keluarga. Alhasil kami jadi sering saling 'curhat'.
Sejak itu aku tidak merasa sendiri dalam perjuangan ini. Rasa percaya diriku mulai pulih. Setidaknya aku bisa menutupi kepala botakku dengan wig ketika harus memberi presentasi atau seminar. Tetapi perubahan yang paling mendasar adalah aku jadi lebih menghargai diriku sendiri. Kini, aku juga lebih menikmati hari-hariku membantu beberapa komunitas cancer survivor, sebagai pembicara seminar, konselor, atau teman curhat dengan sesama penderita kanker.”
(bersambung ke Kiat Erat karena Kanker Payudara [2])