

Namun suasana tenang ini mulai terusik ketika pada tahun 1994, pemerintah ‘membersihkan’ sekolah-sekolah negeri dari segala macam simbol keagamaan, termasuk larangan merayakan Natal dan pemakaian penutup kepala bagi para siswi muslim. Meskipun larangan pemakaian burqa terus berlangsung, dan Islamophobia (sikap anti Islam) makin melebar di seantero jagad, untunglah kedua hal itu tidak menghambat kegiatan keagamaan di Paris, khususnya di wilayah arrondissement V (setara kecamatan). Kegiatan keagamaan ini berpusat di sebuah masjid kuno dan bersejarah. Bukanlah suatu kebetulan bila masjid ini juga merupakan salah satu monumen penting kota tersebut.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, sekitar 100.000 tentara muslim telah gugur saat bahu
membahu bersama tentara Prancis melawan pasukan Jerman. Sebagai penghormatan atas jasa mereka, pemerintah Prancis menghibahkan sebidang tanah seluas satu hektare bekas reruntuhan rumah sakit Mercy untuk pembangunan masjid, sekaligus mendanai pembangunannya. Pelaksanaan pembangunan masjid pertama di Prancis itu seluruhnya ditangani warga keturunan berbagai bangsa Arab, dengan mengambil insprasi dari masjid Alhambra di Spanyol yang memiliki gaya arsitektur Moor (Arab - Spanyol). Peletakkan batu pertama berlangsung pada tahun 1922, rampung empat tahun kemudian, dan diresmikan oleh presiden Prancis saat itu, Gaston Doumergue, pada 15 Juli 1926, dengan nama La Grande Mosquee (Masjid Agung).
Setiap hari Jumat saat sembahyang dzuhur, masjid ini dipenuhi oleh umat muslim dari berbagai bangsa. Demikian juga pada saat berbuka puasa di bulan Ramadhan. Selebihnya masjid ini dibuka untuk turis dengan membayar biaya masuk sebesar 3 euro. Walaupun tidak semua ruang terbuka untuk umum, dengan dipandu guide, para pengunjung bisa menikmati keindahan dan merasakan suasana sentosa di dalam kompleks masjid yang memiliki minaret (menara) setinggi 33 meter itu.