
Lambang Kerukunan dan Toleransi
Bahwa pembangunan masjid agung ini merupakan hasil kerja sama antara para seniman Maroko, Tunisa, dan Aljazair, para pengunjung akan menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah. Namun setelah mengamati setiap detail arsitektur maupun dekorasi yang terdapat di dalam bangunan kuno tersebut, rasa kagum pun mengalir tanpa henti. Tidak terbayangkan bagaimana tangan-tangan manusia dengan peralatan serba sederhana mampu menciptakan setiap relung dan lengkung yang serba indah. Rasa kagum ini juga diikuti dengan berbagai pertanyaan. Misalnya tentang proses pengambilan keputusan atau leadership selama pembangunan masjid. Apakah kata sepakat mudah didapat? Ataukah ada ‘tangan besi’ di belakang setiap keputusan yang diambil? Siapakah penengahnya?
Andaikan tidak ada minaret yang menjulang tinggi di sudut ‘benteng’ tembok putih yang mengelilingi tanah seluas satu hektare itu, siapa pun tak akan menyangka bahwa di dalamnya terletak sebuah masjid tua yang indah. Pintu masuk terletak di salah satu sisi benteng tembok tersebut, daunnya terbuat dari kayu tebal berukiran kaligrafi yang sangat halus. Di sana resepsionis akan mencatat nama para tamu, sekaligus memungut biaya tanda masuk. Ia akan menawarkan pemandu, tetapi bila ingin jalan-jalan sendiri pun boleh. Ia juga akan memberitahu bagian-bagian mana saja yang tertutup untuk umum.
Begitu melangkahkan kaki ke dalam benteng, suasana hening serta teduh langsung terasa, dan mata pun jadi sejuk karena banyak pepohonan hijau. Konon penataan halaman masjid yang dibuat bertingkat-tingkat ini diilhami oleh halaman masjid Alhambra. Sebelum memasuki masjid, para pengunjung harus melewati pelataran terbuka (biasa disebut patio), berlantai marmer dinaungi atap dengan langit-langit berwarna hijau zamrud yang disangga oleh puluhan pilar dengan relung yang dhiasi ukiran-ukiran indah. Di tengah-tengah Grand Patio terdapat sebuah pasu pualam yang dilengkapi air mancur dan sejumlah pancuran untuk mengambil air wudhu.
Setelah patio, terdapat ruang tempat berdzikir. Dibandingkan ruangan-ruangan lain, desain mozaik di sekeliling ruang ini terasa lebih sederhana. Banyak yang berpendapat desain sederhana ini juga berasal Maroko. Mungkinkah disengaja agar konsentrasi mereka yang sedang berdzikir tidak terganggu? Sementara pada dinding ruang lain terdapat mural yang terkesan lebih mewah, dihiasi kaligrafi Arab berwarna cokelat kehitaman. Menurut keterangan, kaligrafi huruf Arab tersebut sebenarnya adalah 360 sajak yang digubah oleh penyair Tunisia, Jalaleddine En Nakache. Selain ruang dzikir, juga ada ruang-ruang lain yang bisa dinikmati keunikan hiasannya.
Turis non muslim tidak diperkenankan masuk ke ruang tempat bersembahyang. Mereka cukup menikmati keindahannya dari kejauhan, melalui relung-relung pintu yang tak berdaun. Pengunjung bisa mengetahui arah kiblat dari posisi mirhab yang terletak agak ke kanan di tengah ruang (mirhab selalu menghadap ke kota suci Mekah). Di tengah-tengah ruang salat yang luas ini terdapat sebuah kubah berbentuk oktagonal, terbuat dari kayu cedar dengan ukiran bergaya Maroko. Dinding kubah ini dihiasi jendela-jendela mungil warna-warni.
Sebuah lampu gantung besar terbuat dari besi dan tembaga tergantung di tengah-tengahnya, adalah karya seni dari Fez di Maroko. Baik lampu gantung maupun permadani yang menutupi seluruh ruang sembahyang ini merupakan hadiah dari Sultan Maroko, S.M. Moulay Youssef. Hadiah-hadiah berharga lain yang terdapat dalam ruang salat ini adalah mimbar kayu dari Raja Fou’ad I dari Mesir, dan sehelai permadani berukuran 7,64 x 4.37 m dari Shah Iran, Reza Pahlevi.