Untunglah ‘pemimpin’ rombongan kami, adik ipar kakak saya, fasih berbahasa Mandarin. Dialah yang memesankan tur Jiuzhaigou bagi kami bertujuh di sebuah biro wisata lokal. Dia sendiri, bersama enam peserta lain, memilih ke tempat lain. Tak pelak kami merasa was-was, soalnya di antara kami bertujuh, tak seorang pun dapat berbahasa Mandarin. Apalagi, kami masih harus naik pesawat selama 1 jam dari Cheng Du ke Jiuzhaigou.
Kekhawatiran saya sedikit mereda ketika mengetahui bahwa tour leader kami dapat berbahasa Inggris. Begitu mendarat di Bandara Hua Long, tour leader kami, Zi li, sudah melambai-lambaikan spanduk kecil bertuliskan nama saya. Bersama kami ikut pula serombongan keluarga besar yang terdiri dari belasan orang -- tua, muda, besar, kecil -- dan kami segera menjadi akrab sekalipun hanya lewat senyum dan anggukan kepala.
Perjalanan dari bandara hingga ke pintu masuk Jiuzhaigou memakan waktu kira-kira satu setengah jam. Di sepanjang perjalanan – bahkan sejak dari atas pesawat – saya melihat puncak-puncak gunung berselimut salju, yang membuat saya berpikir: Benarkah sekarang sudah bulan April? Kok, belum ada tanda-tanda musim semi di sini?
Suaka alam Valley of Nine Villages (Lembah Sembilan Desa) ini terletak di utara Sichuan, provinsi di barat daya Cina. Lembah Rize dan Zechawa membentang dari selatan ke utara, bertemu di tengah, lalu membentuk lembah Shuzeng yang ‘mengalir’ ke arah utara, menjadi huruf Y besar.
Jiuzhaigou terkenal karena air terjunnya yang beragam dan danau-danaunya yang indah. Menurut legenda, dahulu kala dewa gunung Dago jatuh hati pada dewi Semo, dan menghadiahinya sebuah cermin yang dibuatnya sendiri dari angin dan awan. Namun tanpa sengaja Semo memecahkan cermin itu menjadi 108 keping dan jatuh ke bumi, dan menjelma menjadi 108 danau berwarna-warni di Jiuzhaigou.
Selama berabad-abad, lembah seluas 720 kilometer ini dihuni oleh orang-orang Tibet dan Qiang, sebelum secara resmi ditemukan oleh pemerintah Cina pada 1972. Sepuluh tahun kemudian area ini dijadikan taman nasional, dan dibuka resmi untuk pariwisata pada 1984. Jiuzhaigou National Park diproklamirkan sebagai Unesco World Heritage Site pada 1992, dan termasuk ke dalam kategori Protected Landscape.
Saat itu populasinya sekitar 1000 orang, yang terdiri dari 130 keluarga petani. Setelah menjadi taman nasional, pertanian dilarang dan mereka beralih mengandalkan hidup dari subsidi pemerintah dan pariwisata. Keterangan di atas tidak saya peroleh dari Zi Li (karena ia memberi informasi dalam bahasa Mandarin), melainkan bekal saya dari penelusuran di internet.
(bersambung)