Menurut Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistikTrue Nature Healing, antara pikiran dan hati memang tidak selalu sejalan. Karenanya saran forgive and forget, meski kedengarannya indah, tidak realistis. Maaf memaafkan adalah 'pekerjaan' hati yang mengandalkan unsur rasa. Sementara “melupakan” adalah 'produk' pikiran yang didasari melalui pertimbangan nalar atau rasio.
Sifat alamiah hati adalah cinta damai dan ketenangan. Hati tidak mengenal dikotomi seperti pikiran yang senang memperdebatkan benar atau salah. Celakanya, hati bekerja kebalikan dari apa yang dipikirkan (paradox). Ketika kita dikhianati pasangan dan harus memaafkannya, perang batin pasti berkecamuk. Di satu sisi, ada rasa marah, benci, kecewa dan sedih. Tapi di sisi lain, kita seolah 'dipaksa' menerima kesalahan pasangan demi mempertahankan keluarga. Lantas, mana mungkin kita melupakan, kalau nyatanya emosi masih bergejolak?
“Sama halnya jika kita sedang stres, lalu kita diminta untuk berpikir positif dengan mengatakan: “Jangan stres, jangan stres'. Mungkin kita bisa tenang sesaat, tapi kemudian kembali merasa tegang karena masalahnya memang belum selesai,” jelas Reza.
Di balik saran 'maaf dan lupakan' itu, seolah tersirat harapan tertentu. Orang yang meminta maaf, berharap orang lain akan langsung menerima maafnya dan bahkan 'melupakan' kekhilafan mereka. Sebaliknya, di saat kita berada di pihak yang memberi maaf, terkadang kita pun merasa berat memaafkan orang lain. Terutama jika menyangkut masalah kepercayaan. Ada pikiran 'jahat' untuk 'menghukum' orang lain agar ia bisa belajar dari kesalahannya. “Biar dia tahu betapa sakitnya saya!” Bahkan lebih jauh lagi, kita berharap orang lain akan berubah atau bertobat.