Hak politik
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara hak politik pria dan wanita, karena keduanya adalah warga negara yang dijamin hak individunya. Sama seperti pria, wanita berhak untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Misalnya, menjadi wakil rakyat, menteri, presiden, atau pemimpin komunitas. Sayangnya, keterwakilan wanita dalam politik masih sangat rendah. Data Human Development Index (HDI) UNDP menyebutkan perbandingan representasi politik laki-laki dan wanita adalah 88,2 persen banding 11,8 persen.
Sedikitnya wakil wanita dalam politik menyebabkan wanita tidak punya banyak suara dalam pengambilan kebijakan dan anggaran. Sehingga kepentingan wanita tidak terlalu diperhatikan, karena sebagian besar pengambil kebijakan adalah pria.
Namun, ada dua kabar gembira bagi wanita tentang hak berpolitik, yaitu digolkannya UU tentang keterwakilan 30 persen wanita dalam kepengurusan dan pendirian partai pada Desember 2007. Satu lagi adalah mengenai kebijakan '3 caleg (calon legislatif), 1 wanita'. Maksudnya, dari setiap 3 caleg yang diajukan partai politik (parpol) dalam pemilu, salah satunya harus wanita. Hal ini menjadi penting karena setiap partai memiliki sistem skoring atau penomorurutan caleg. Sistem skoring inilah yang kerap merugikan caleg wanita. Strategi '3 caleg, 1 wanita' akan menghindarkan terulangnya kejadian dalam Pemilu 2004. Saat itu, para caleg wanita ditempatkan di 'nomor sepatu' alias nomor urut besar.
Sayangnya, meskipun pintu hak berpolitik wanita sudah dibuka lebih lebar, kini timbul banyak Peraturan Daerah (perda) yang memojokkan dan membatasi ruang gerak wanita. “Proses untuk membatalkan perda-perda yang memojokkan wanita itu sangat panjang dan sampai sekarang masih berlangsung. Kita masih harus terus berjuang,” jelas Masruchah, Sekjen Koalisi wanita Indonesia (KPI).