Tak perlu berperang
Biasanya kita tidak tahan untuk tidak membela diri. Mudah sekali kita terjerumus untuk ‘mempertahankan kehormatan’. Dengan gerak refleks kita ingin segera meloncat membela diri. Naluri kita mendorong kita untuk membalas tendangan dengan tendangan balasan, kecuali bila kita rela kalah. Reaksi “aku melawan kamu” atau “kami melawan kalian” menghambat kita untuk memberi respon yang lebih cerdas dan matang.
Biasanya kita menyesal telah berkubang dalam ‘perang’ – paling tidak kita berpikir: apa sih yang kita pikirkan tadi? Justru itulah. Kita tidak berpikir. Reaksi emosional menghambat pertimbangan yang matang. Tidak ada orang rasional masa kini yang mau terlibat dalam argumentasi dengan sembarang orang di jalan. Tapi bila seseorang menabrak tubuh kita, menghambat jalan kita, atau ingin mengganggu, kita cenderung untuk memilih salah satu sikap ini: ‘membeku’, melawan, atau menghindar. Demikian pula respon kita terhadap serangan verbal yang mendadak atau upaya manipulatif dari orang yang sulit. Kita bernafsu untuk melawannya. Respon mendadak kita adalah, “Aku tak tahan menghadapi perilaku yang sinting dan menghina ini.”
Kita terlalu cepat bereaksi membela diri ketika merasa terhina, karena kita telah mengembangkan citra diri dan sikap waspada dalam membela posisi kita di antara orang-orang di sekitar. Fokus terhadap status ini masuk akal. Kebutuhan untuk mempertahankan status adalah contoh seorang Neanderthink (mahluk yang berpikir). Tuntutan status ini dapat mendorong kita untuk menjadi marah dan kehilangan fokus terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar, seperti mempertahankan pekerjaan atau pasangan kita. Kita ingin membuktikan bahwa kita benar – tapi melakukannya dengan marah dan tidak toleran bisa menghambat tujuan besar kita. Dominasi itu baik, bersikap dominan juga boleh-boleh saja, tapi saat ini bukan suatu kebutuhan.
(bersambung)