Sebagai turis yang baru kali pertama datang ke Aceh, saya beruntung bisa bertemu Ali dan Rizal sebagai tour guide dan kawan baru. Mereka sangat kooperatif dan tak pelit bercerita tentang tempat-tempat yang kami kunjungi. Ali dan Rizal langsung mengajak kami meyicipi rujak dan kopi gayo di Rumoh Aceh, sebuah kafe kecil di pinggiran kota Banda Aceh. Meskipun bukan penggemar kopi, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membeli beberapa bungkus kopi gayo untuk oleh-oleh.
Esoknya kami mengunjungi Pantai Lampuuk, di Lhoknga, Aceh Besar. Dalam perjalanan ke sana, Ali dan Rizal menceritakan kembali bagaimana hebatnya bencana tsunami tahun 2004 lalu yang menyapuratakan semuanya. Bagaimana jalanan yang tengah kami lewati itu dulu bergelimpangan jenazah tak dikenal, berserakan di mana-mana. Untuk membersihkan jalan, jenazah-jenazah itu ‘dikeruk’ dengan buldoser untuk kemudian dikubur dalam satu lubang besar. Meski sudah 9 tahun berlalu, kisah itu tetap saja memilukan.
Keindahan alam sepanjang perjalanan ke Pantai Lampuuk masih sangat asri dan segar. Deretan bukit dan hamparan sawah hijau terbentang di bawah udara pagi yang bersih dan segar, membuat kami bisa bernapas lega, setelah lama terkontaminasi kotornya polusi udara Jakarta. Meski tak mampir, kami melewati rumah pahlawan wanita Cut Nyak Dien, tempat beliau dibesarkan.