Meski hanya sekitar setahun bekerja di perusahaan itu, Amelita mendapat ilmu baru di bidang kehumasan, yang ternyata tak kalah disukainya. “Mungkin karena tak jauh berbeda dengan jurnalistik; sama-sama melibatkan kegiatan menulis, menyampaikan informasi, dan bertemu banyak orang,” katanya. Dengan bekal kedua ilmu itu pula ia lantas memberanikan diri menawarkan pelatihan di bidang PR di berbagai BUMN. Agar lebih menarik bagi peserta, ia kerap mendatangkan pengajar tamu dari berbagai profesi, termasuk dari kalangan akademisi.
Para akademisi inilah yang kemudian mengajaknya untuk ikut mengajar sebagai dosen tamu untuk sejumlah mata kuliah di Program D3 Komunikasi dan Program S1 Extension, keduanya di UI. Siapa sangka gelar S2 yang dimilikinya ternyata sangat berguna, karena untuk menjadi pengajar di UI, lulus program S2 menjadi syarat utama. Tanpa berpikir panjang, Amelita menerima tawaran itu, meskipun statusnya waktu itu masih dosen tidak tetap. Saat itu tahun 2008, usianya 44 tahun.
Darah pendidik ternyata mengalir cukup deras di tubuhnya. Ayahnya pernah menjadi guru sebelum putar haluan menjadi pegawai perusahaan minyak. Opung-nya dari pihak ibu semasa hidupnya adalah seorang penilik sekolah. Namun ada satu alasan lagi yang lebih prinsipil, “Setelah sekian lama bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan perusahaan, kini saatnya saya berbagi ilmu dan pengalaman kepada generasi penerus. Urusan materi jadi nomor dua,” kata Amelita.
Pada tahun 2011, program extension di UI dihapuskan, digantikan dengan Program Vokasi (Vocation Program), semacam ‘fakultas’ baru khusus untuk program D3 yang lebih menekankan pada aplikasi, bukan teori akademis. Untuk itu dibutuhkan banyak tambahan tenaga pengajar sebagai dosen tetap. Setelah mengikuti serangkaian seleksi, Amelita berhasil lulus dan diangkat menjadi dosen tetap di Program Vokasi UI Jurusan Komunikasi. “Untungnya, karena kebanyakan pengajarnya adalah para profesional dan mantan profesional, usia tidak terlalu dipermasalahkan. Apalagi kini status UI juga sudah berubah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), bukan lagi perguruan tinggi negeri seperti dulu,” Amelita menjelaskan.