Semakin jauh dijalani, Amelita mengaku makin kepincut dengan profesi dosen, terutama karena tantangannya yang sangat besar. Tak kalah seru dibandingkan ketika ia menjadi wartawan. “Bayangkan, saya yang berasal dari generasi X yang dididik untuk bekerja keras dalam mencapai sesuatu dan dibesarkan dalam budaya membaca buku, kini harus menghadapi para mahasiswa yang berasal dari generasi Y dan milenium yang maunya serba instan, dibesarkan oleh budaya gambar (TV, film, komik), dan memiliki rentang fokus yang pendek, tapi sangat mahir dan cepat dalam mempelajari teknologi informasi. Saya harus bekerja keras hanya agar mereka mau membaca buku atau teks yang cukup panjang dan komprehensif,” katanya.
Untuk mengatasi masalah jurang generasi ini, Amelita berusaha untuk masuk lebih dalam ke dunia mereka, mulai dari memahami cara berpikir mereka hingga mempelajari bahasa ‘alay’. “Dunia di luar sana berkembang sangat cepat, sehingga sayalah yang harus menyesuaikan diri. Tapi tetap ada nilai yang ingin selalu saya pertahankan, yaitu menanamkan critical thinking kepada para mahasiswa saya,” ujar Amelita yang juga mengajar di Universitas Bakrie di Jurusan Komunikasi untuk jenjang S1, dan sesekali memberi pelatihan penulisan di sekolah-sekolah secara cuma-cuma.
Yang paling membahagiakan adalah saat ia melihat anak-anak didiknya satu persatu berhasil menjadi ‘orang’. “Rasanya puas dan bangga sekali, seperti seorang ibu yang berhasil melihat anaknya sukses,” katanya. Dunia kampus juga menuntutnya untuk terus belajar, termasuk secara akademis. “Kini saya sudah harus bersiap-siap untuk mengambil program doktor. Itulah seninya jadi dosen. Umur boleh terus bertambah tapi menimba ilmu hukumnya wajib. Dan kalau dijalani, ternyata belajar itu nagih, lho,” katanya, tersenyum.
Tina Savitri