

Seringkali, di Senin pagi, Anda memaksakan diri bangkit dari ranjang dan menyeret kaki untuk
bersiap-siap ke kantor. Rasanya Sabtu-Minggu belum cukup bagi Anda untuk menikmati ‘kemerdekaan’ dari kantor. Tapi, bila Anda wanita bekerja sejati, berani bertaruh, di balik keengganan itu terselip kegairahan untuk kembali bekerja. Dalam perjalanan ke kantor, Anda tentu sudah mereka-reka apa saja yang akan dilakukan begitu tiba di kantor. Rasanya tidak sabar menuntaskan pekerjaan yang tertunda Jumat lalu. “I hate Mondays but … I love them too!” Mungkin begitulah Anda.
Mary Lou Quinlan, CEO perusahaan konsultansi marketing di Amerika Serikat dan penulis buku,
juga seorang wanita bekerja ‘sampai ke tulang sumsum’. Sejak masih kecil ia terbiasa menjadwal
aktivitasnya, seperti menggambar dulu, baru tidur siang. Ketika remaja ia gemar mencari penghasilan
sendiri sebagai baby sitter dan mencari upah dobel dengan menjaga dua anak sekaligus. Setelah dewasa
ia gemar mengumpulkan sertifikat dengan menghadiri seminar atau workshop.
Tentu ia tidak sendirian. Di negerinya maupun di seluruh dunia, generasinya (juga generasi Anda)
adalah generasi pertama wanita bekerja. Anda begitu terikat dengan pekerjaan -- dan diam-diam
sering merasa bangga, bahwa Anda bukan ‘sekadar’ ibu rumah tangga --sehingga rasanya Anda ‘bukan
siapa-siapa’ kecuali memiliki ruang atau kubikel sendiri dan nomor ekstension telepon di salah
satu kantor di segitiga emas Jakarta.
Suatu kali Quinlan merasa penasaran, bagaimana jadinya kalau wanita seperti Anda menghadapi krisis
di rumah –perceraian, anak yang sakit parah, anggota keluarga yang meninggal. Apakah kita spontan
melepaskan tanggungjawab di kantor dan berpaling pada keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini ia
mengadakan survei yang melibatkan ribuan wanita. Ternyata, lebih banyak yang menjawab tidak.
Malah dia menemukan kenyataan ini: bila badai kehidupan menerjang, rutinitas pekerjaan bisa menjadi
‘pelabuhan’ yang membantu kita agar tetap ‘waras’.