Ida Ruwaida Noor, Sosiolog Universitas Indonesia
Poligami untuk Mencari Istri Muda
Pascareformasi, iklim kita seolah-olah kondusif untuk memunculkan poligami ke permukaan. Kesannya, pelaku poligami kian banyak, padahal tidak. Mereka hanya semakin terbuka. Iklim di masa lalu membuat orang lebih tertutup, karena adanya kontrol sosial yang ketat. Padahal sejak dulu, di wilayah tertentu seperti Jawa Barat dan Lombok, poligami dianggap biasa.
Orang berpoligami karena pertimbangan yang dianggapnya rasional. Poligami dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Pelaku poligami bisa berasal dari kalangan mana pun. Pria ‘kerah putih’ dari kelas menengah ke atas berpoligami untuk meningkatkan status. Sedangkan kelompok ‘kerah biru’, seperti supir truk, mengambil istri muda di daerah transit –contohnya di jalur Pantura-- karena kebutuhan seksual.
Sebagian pelaku poligami membenarkan tindakannya atas nama agama dan mereka mencontoh nabi. Padahal, istri-istri nabi adalah wanita tua, janda, dan banyak anak. Nabi mengawini mereka karena ingin menolong. Beda dari pelaku poligami sekarang yang malah mencari istri baru yang lebih muda. Jadi harus diteliti lagi, apakah pria berpoligami karena agama, atau agama hanya sebagai kedok dan ada ‘agenda’ lain?
Dari sisi wanita, selain faktor agama, banyak wanita bersedia dimadu karena kebutuhan ekonomi. Tak hanya kalangan bawah, tapi juga menengah. Gaya hidup saat ini menuntut biaya besar. Ada wanita yang mengejar hal itu dan menjadikan perkawinan sebagai alat. Ada pula yang untuk mendapatkan status. Di Lombok, wanita bersedia jadi istri kedua meski tak diberi nafkah, karena status itu lebih baik daripada janda atau perawan tua. Yang menarik, penelitian mahasiswa sosiologi UI menunjukkan, ada wanita karier kelas menengah bersedia menjadi istri ‘bawah tangan’ karena kebutuhan afeksi. Mereka butuh diperhatikan dan disayang.
Di pihak lain, istri pertama ditempatkan pada posisi sulit, karena dia diperlakukan tak adil. Sebelum menikah, suami seharusnya memberitahu bahwa dia punya kecenderungan berpoligami. Tapi justru banyak pria yang menikah lagi diam-diam. Akibatnya, istri pertama tak siap. Ia mungkin takut jadi janda, kehilangan sumber nafkah, atau dicap gagal. Budaya kita menempatkan wanita sebagai sumber kesalahan. Jika ada hal negatif, orang cenderung menyalahkan wanita dulu. Padahal, wanita adalah korban.