Ke Agra, naik kereta api
Subuh, hari ketiga di New Delhi. Setelah sarapan, kami bergegas menuju stasiun kereta api, naik bus hotel. Perjalanan kereta api Shatabadi Express ke Agra dijanjikan memakan waktu 2 jam naik gerbong turis VIP. Suasana stasiun berantakan dan penuh manusia, mirip stasiun Pasar Senen, Jakarta, menjelang Lebaran. Ternyata kereta api yang akan membawa kami ke Agra tergolong antik. Tidak ada AC, hanya kipas angin. Jarak antara tiap baris sangat longgar, barangkali gerbong ini dirancang untuk kaki orang Inggris.
Hotel Imperial membekali kami picnic box, meskipun tiket yang kami bayar termasuk sarapan. Kami disodori sebuah baki berisi termos kopi atau teh, dan kotak berisi roti iris berlapis telur. Walaupun kami menolak, tetap saja meja lipat di hadapan kami diisi jatah sarapan. Sebelum tiba di Agra, para pelayan membereskan meja, mengumpulkan dan menghitung semua peralatan dan memisahkan sisa-sisa makanan. Begitu kereta berhenti, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul serombongan peminta-minta yang mencari sisa makanan.
Bus kami hanya bisa masuk hingga ke pelataran parkir di kompleks Taj Mahal. Untuk menuju pintu gerbang kami harus antre untuk naik bus khusus. Kami juga harus membayar tiket untuk kamera foto (biaya untuk kamera video lebih mahal). Padahal, kami hanya diperbolehkan memotret Taj Mahal dari jarak jauh. Selain itu, membawa makanan, minuman, terutama racikan sirih, dilarang keras (sepah sirih berwarna merah akan meninggalkan bekas pada marmer). Sama seperti museum-museum terkenal di Eropa, jumlah turis yang masuk ke dalam wilayah Taj Mahal dibatasi. Kami tiba di sana pukul 9.30 dan baru bisa masuk kira-kira pukul 10.30. Sambil menunggu, kami berpotret sepuasnya dengan latar belakang Taj Mahal.