Dua jalur jalan masuk untuk pengunjung yang dilapisi marmer merah, terletak sejajar di kiri-kanan tampak depan Taj Mahal. Sebuah kolam dangkal memanjang di tengah-tengah jalan tersebut. Pada jam-jam tertentu, di kolam itu terlihat bayang-bayang Taj Mahal berwarna putih. Sementara menjelang magrib refleksi tampak belakang monumen cinta itu muncul di Sungai Yamuna. Konon sungai itu sengaja dibelokkan arahnya agar bisa merefleksikan tampak belakang Taj Mahal.
Pusara Mumtaz Mahal dan Shah Jahan terletak di lantai bawah bangunan utama. Tepat di atasnya, di lantai dasar, ada 2 pusara kosong yang identik dengan yang terdapat di lantai bawah, mengikuti kebiasaan kuburan raja-raja di masa itu. Cahaya masuk ke ruang itu melalui celah-celah ukiran pada daun jendela yang terbuat dari pualam. Lampu yang terpasang di tengah-tengah kubah merupakan hadiah dari gubernur kerajaan Inggris, Lord Corzon. Ironisnya, kesempurnaan arsitektur Taj Mahal yang serba simetris itu dirusak oleh penciptanya sendiri, Shah Jahan. Ketika raja tersebut wafat tahun 1666, Aurangzeb, puteranya, menempatkan pusara sang ayah di sebelah pusara ibunya. Padahal sebenarnya penempatan pusara Shah Jahan di sebelah pusara istrinya tidak termasuk dalam rencana pembangunan Taj Mahal.
Setelah santap siang di Restoran Bellevue di Hotel Amarvilas yang sangat indah, kami sempat mampir ke sebuah pabrik marmer yang membuat hiasan-hiasan inlay mirip hiasan pada marmer di Taj Mahal. Konon para perajin di situ keturunan para seniman yang mengerjakan hiasan Taj Mahal. Perjalanan pulang 5 jam naik bus ke New Delhi kami lalui dengan terkantuk-kantuk, sambil membayangkan kembali keindahan mahligai cinta yang baru saja kami tinggalkan.
(bersambung)
WGM