Menuju Jaipur
Highway menuju Jaipur cukup lebar, sehingga perjalanan 5 jam ke arah barat Delhi ditempuh dengan lancar oleh pengemudi setia kami. Cuma, panas dan terik matahari membuat mata cepat letih karena silau. Jaipur, ibukota Propinsi Rajasthan, sekarang merupakan wilayah paling panas dan kering di seluruh India. Padahal, kota yang telah ada 2.500 tahun sebelum Masehi ini awalnya merupakan wilayah yang makmur dan subur. Rajasthan selalu dilalui kafilah saudagar sutera dari Cina dalam perjalanan mereka ke Eropa. Sayang sekali Gurun Marusthali yang tak seberapa jauh dari wilayah ini telah mengubah alam subur wilayah tersebut menjadi kering kerontang.
Walaupun kondisi alamnya sudah berubah, Jaipur tetap menjadi persinggahan para saudagar Cina, Arab, maupun Eropa. Bahkan dulu prajurit Afghanistan dan Persia melewati Jaipur sebelum menaklukkan kerajaan-kerajaan India yang ada di sekitar Sungai Gangga. Jaipur pun menjadi kota yang hidup karena selalu bersinggungan dengan budaya asing. Bekal sejarah yang cukup panjang inilah yang membuat kota ini menarik para peneliti dan turis dari berbagai negara.
Ketika bus kami memasuki kota Jaipur, malam mulai menjelang. Tak banyak pemandangan yang bisa kami lihat karena jalan yang kami lalui tak berlampu. Pak Sopir hanya mengandalkan lampu sorot bus. Tiba-tiba mata kami yang sudah letih dan terkantuk-kantuk itu dikagetkan oleh sinar terang-benderang dari bangunan mirip benteng kuno dengan taman yang sangat indah bagaikan dalam dongeng 1001 malam. Rupanya kami telah sampai di hotel berbintang 5, Rajvilas (salah satu Hotel Oberoi, yang pendirinya orang India). Kami menginap di sini selama 3 malam. Kompleks Hotel Rajvilas didesain mengikuti istana zaman dulu, walaupun dengan peralatan dan perlengkapan serba modern.
Jaipur dibangun tahun 1727 oleh Raja Sawai Jay Singh II. Dengan visi jauh ke masa depan dan konsep yang matang, kota ini menjadi sangat sempurna dan indah sehingga konon tak ada duanya di dunia ini. Pembangunan kota ini mengikuti perencanaan yang sangat cermat. Lebar jalan, ukuran, dan model toko semuanya seragam. Bahkan letak rumah pun dipikirkan sedemikian rupa sehingga terasa teduh di musim panas namun tetap mendapat cahaya dan udara bersih. Saluran pembuangan air kotor dan sumur untuk tiap rumah merupakan syarat wajib bagi penduduk setempat.
Semua bangunan di kota Jaipur yang semula berwarna krem berganti menjadi pink pada tahun 1876, karena Raja Ram Singh II ingin menyambut kedatangan Prince Albert (Prince of Wales) dengan penampilan kota yang lebih ceria. Konon Ram Singh telah mencoba berbagai warna, namun akhirnya pilihan jatuh pada warna merah bata (terakota). Lama-kelamaan karena panas matahari, warna merah bata itu memudar, mendekati warna pink. Sejak itu hingga sekarang, pemerintah kota Jaipur menetapkan bahwa satu-satunya warna cat gedung yang diperbolehkan adalah pink. Karena itulah Jaipur mendapat julukan The Pink City. Dari dekat, ternyata warna pink pada gedung-gedung bersejarah itu tidak sama, tergantung kapan bangunan tersebut dicat ulang.
Walaupun kondisi alamnya sudah berubah, Jaipur tetap menjadi persinggahan para saudagar Cina, Arab, maupun Eropa. Bahkan dulu prajurit Afghanistan dan Persia melewati Jaipur sebelum menaklukkan kerajaan-kerajaan India yang ada di sekitar Sungai Gangga. Jaipur pun menjadi kota yang hidup karena selalu bersinggungan dengan budaya asing. Bekal sejarah yang cukup panjang inilah yang membuat kota ini menarik para peneliti dan turis dari berbagai negara.
Ketika bus kami memasuki kota Jaipur, malam mulai menjelang. Tak banyak pemandangan yang bisa kami lihat karena jalan yang kami lalui tak berlampu. Pak Sopir hanya mengandalkan lampu sorot bus. Tiba-tiba mata kami yang sudah letih dan terkantuk-kantuk itu dikagetkan oleh sinar terang-benderang dari bangunan mirip benteng kuno dengan taman yang sangat indah bagaikan dalam dongeng 1001 malam. Rupanya kami telah sampai di hotel berbintang 5, Rajvilas (salah satu Hotel Oberoi, yang pendirinya orang India). Kami menginap di sini selama 3 malam. Kompleks Hotel Rajvilas didesain mengikuti istana zaman dulu, walaupun dengan peralatan dan perlengkapan serba modern.
Jaipur dibangun tahun 1727 oleh Raja Sawai Jay Singh II. Dengan visi jauh ke masa depan dan konsep yang matang, kota ini menjadi sangat sempurna dan indah sehingga konon tak ada duanya di dunia ini. Pembangunan kota ini mengikuti perencanaan yang sangat cermat. Lebar jalan, ukuran, dan model toko semuanya seragam. Bahkan letak rumah pun dipikirkan sedemikian rupa sehingga terasa teduh di musim panas namun tetap mendapat cahaya dan udara bersih. Saluran pembuangan air kotor dan sumur untuk tiap rumah merupakan syarat wajib bagi penduduk setempat.
Semua bangunan di kota Jaipur yang semula berwarna krem berganti menjadi pink pada tahun 1876, karena Raja Ram Singh II ingin menyambut kedatangan Prince Albert (Prince of Wales) dengan penampilan kota yang lebih ceria. Konon Ram Singh telah mencoba berbagai warna, namun akhirnya pilihan jatuh pada warna merah bata (terakota). Lama-kelamaan karena panas matahari, warna merah bata itu memudar, mendekati warna pink. Sejak itu hingga sekarang, pemerintah kota Jaipur menetapkan bahwa satu-satunya warna cat gedung yang diperbolehkan adalah pink. Karena itulah Jaipur mendapat julukan The Pink City. Dari dekat, ternyata warna pink pada gedung-gedung bersejarah itu tidak sama, tergantung kapan bangunan tersebut dicat ulang.