Wanita Tak Suka Pornografi?
Hasil poling Pesona menunjukkan bahwa wanita pada dasarnya memang tidak terlalu menyukai pornografi. Dan saya yakin itu bukan pernyataan yang sok moralis dari kaum wanita Indonesia. Apalagi, hasil poling Pesona juga sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh universitas-universitas terkemuka di dunia, antara lain Harvard University dan University of Nevada. Fakta menunjukkan, prialah yang lebih banyak (dan lebih suka) menonton film erotis atau memelototi gambar-gambar porno di majalah atau internet. Sementara wanita biasanya tak pernah betah berlama-lama menonton film porno, apalagi melihat gambar-gambar porno.
Sebagai wanita, saya bisa memahami alasannya. Pasalnya, kebanyakan film porno, majalah erotis, atau buku-buku stensilan yang beredar ditujukan untuk memuaskan selera seksual pria. Sementara, tokoh wanitanya hanya dijadikan sebagai ‘obyek penderita’. Kenapa saya sebut obyek penderita? Bagaimana tidak menderita kalau hampir di sepanjang film dia hanya dituntut untuk memuaskan pria.
Seorang pria dan seorang wanita yang tak saling kenal bertemu di sebuah pub, saling pandang sembari melempar pesan-pesan seksual, lalu beranjak ke sudut gelap pub, dan langsung having sex. Nyaris tidak ada prelude cium bibir apalagi perangsangan di seluruh daerah intim si wanita. Belum lagi si wanita sepenuhnya terangsang, penetrasi sudah dilakukan, yang biasanya dilanjutkan dengan si wanita disuruh melakukan blow job – nah, sepertinya ini adalah adegan yang sangat-sangat disukai pria sehingga perlu ditampilkan berlama-lama. Bahkan setelah pria ejakulasi, si wanita masih harus menelan sperma pasangannya. Yaiiikks… Lantas apa nikmatnya bagi si wanita? Kalaupun di film itu si wanita tampak seolah mencapai klimaks, hayo, berani taruhan, saya yakin dia cuma pura-pura!
Menurut seksolog Zoya Amirin, perbedaan selera tentang pornografi ini sangat terkait dengan berbedaan eksistensial antara pria dan wanita –dan ini tak ada kaitannya pola asuh, melainkan menyangkut kerja hormon-hormon (dominan) yang berbeda antara pria dan wanita. “Dalam hal seksual, pria adalah makhluk visual. Ibaratnya, hanya melihat paha dan dada wanita tersingkap sedikit saja, mereka sudah bisa terangsang. Tak heran kalau film dan gambar porno lebih banyak disukai oleh pria dan umumnya disajikan secara ‘gynaecological’ alias terpampang sedetail-detailnya, agar pria makin hot,” papar Zoya.
Sebaliknya, dalam hal seksual, perempuan lebih banyak bekerja dengan fantasinya. Boleh saja di hadapannya ada pria tampan dan bertubuh kekar bertelanjang bulat, namun hal itu belum tentu berhasil membuat perempuan terangsang. “Kita, wanita, membutuhkan keterkaitan emosi yang lebih jauh –cinta atau sekadar intimacy— terhadap seorang pria untuk bisa terangsang secara seksual,” kata Zoya. Keterkaitan emosi itu biasanya berasal dari kekaguman terhadap seorang pria: ketenarannya, ketampanannya, perilakunya yang romantis, suaranya yang menghanyutkan, jabatannya yang keren, atau hartanya yang naujubilah.
“Setelah memiliki keterkaitan emosi dengan pria yang dikaguminya, barulah wanita bisa merangkai sendiri adegan-adegan erotis di kepalanya, sesuai dengan fantasi seksualnya sendiri. Wanita bahkan punya kemampuan untuk merangkai fantasinya sedemikian rupa layaknya sebuah cerita romantis dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai kekasih sang pria pujaan. Dengan kemampuan berfantasi itu, wanita tidak (terlalu) membutuhkan bantuan gambar atau adegan porno untuk membuatnya terangsang. Bahkan wanita bisa mencapai orgasme hanya dengan berfantasi. Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa wanita tak terlalu menderita (secara seksual) bila ia kehilangan pasangan hidupnya dan lebih mampu bertahan tetap menjanda,” Zoya menjelaskan.
Kemampuan berfantasi ini, menurut Zoya, juga bisa menjelaskan mengapa trilogi Fifty Shades laris manis dibeli oleh wanita. Karena, novel ini tidak semata-mata menggambarkan adegan-adegan seksual yang hot, tapi juga ada rangkaian cerita yang romantis –mungkin karena penulisnya seorang perempuan. Di situ digambarkan sang tokoh wanita, Anastasia, diperlakukan bak seorang ratu oleh Christian Grey, seorang pengusaha muda sukses, sangat tampan, kaya luar biasa, sangat romantis, dan tak takut berkomitmen –semua kriteria yang didambakan oleh wanita dari seorang pria. Oleh Christian, Anna diajak kencan naik pesawat pribadi, diberi hadiah mobil mewah, dan di tempat tidur dipuaskan habis-habisan.