
Masihkah nasihat kuno untuk berani berbuat kebaikan didengar (apalagi diterapkan) oleh orang-orang zaman sekarang?
Karena ketinggalan masa tayangnya di bioskop, akhirnya baru di pesawat dari Bali ke Belanda saya berkesempatan menonton film layar lebar versi terbaru yang mengangkat dongeng klasik ini, Cinderella.
Saya membaca dongeng ini semasa kecil lewat buku komik. Ibaratnya, sudah khatam dan hafal luar kepala ceritanya. Dan kali ini saya tak ingin menyoroti berbagai kritik tentang Sindroma Cinderella atau Kompleks Putri Abu yang kerap diasosiasikan sebagai ketergantungan perempuan cantik, baik hati, dan teraniaya oleh (sesama) perempuan lain, kepada sosok pangeran penyelamat (baca: Laki-laki). Sekarang ini saya hanya sedang bosan dengan topik semacam itu.
Sepanjang menonton film, saya justru mencatat beberapa kali Cinderella mengulang petuah terakhir mendiang ibunya: “Beranikan diri dan berbaik hatilah selalu.” Apakah itu yang pada akhirnya membawa Si Putri Abu menuju nasib baiknya di ujung cerita? Itulah catatan batin yang ingin saya bagikan di sini.
Pertama, soal beranikan diri. Yang dimaksud dengan keberanian di dalam frasa “beranikan dirimu” adalah keberanian untuk melakukan sesuatu yang digerakkan oleh kekuatan yang ada di dalam diri. Bukan sekadar keberanian untuk membuat orang-orang di luar sana terkesan.
Kendati baru kenal, Cinderella berani menyampaikan apa yang dirasakannya kepada pemburu yang dijumpainya di hutan, agar pemuda itu mengurungkan niatnya untuk membunuh hewan-hewan hutan yang adalah kawan-kawannya. Gadis itu juga berani memutuskan untuk menyampaikan kepada ibu dan saudara tirinya yang menyebalkan bahwa kendati ia diperlakukan sebagai pelayan, ia juga berhak mengikuti pesta dansa di istana: Ia punya gaun warisan dari ibunya yang tidak harus dibeli. Lalu, kendati sudah dihina-dina dan dicegah dengan keji, toh, Cinderella berani memutuskan untuk tetap pergi ke pesta dansa dengan bantuan sulap dari Ibu Peri. Itulah buah petuah dari mediang ibunya yang ia praktikkan secara nyata.
Begitu juga dengan petuah untuk selalu berbaik hati kepada siapa pun. Ada banyak keputusan penting menanti kita dalam kebaikan: Kebaikan dalam pengertian niat, ucapan, dan tindakan yang luhur. Kebaikan yang bersifat menumbuhkan orang lain di dalam—membuatnya lebih aman, nyaman, senang, dan ringan dari beban pikiran. Bukan sekadar kebaikan yang tampil lewat pameran tebar hadiah, perbuatan-perbuatan yang bisa mengesankan orang lain, atau kebaikan yang sekadar mengharapkan pahala.
Saya hanya ingin bertanya: Masihkah kita percaya pada kekuatan kebaikan? Apakah petuah tentang perlunya bersikap baik kepada orang lain masih laku dalam masyarakat zaman sekarang yang pragmatis dan individualistis? Apalagi bila bicara tentang kebaikan yang bersifat menumbuhkan orang lain.