Sering disebut penyakit mematikan, kanker bisa diatasi. Tidak menunda, berpikir rasional, dan fokus adalah kuncinya.
“Rasanya ini kemo gue yang terakhir.” Kalimat ini terucap dari mulut seorang teman yang beberapa kali saya temani menjalani kemoterapi. Tahun 2013 dokter menyampaikan hasil biopsi—kanker serviksnya sudah berada di stadium tiga. Berpacu dengan waktu, Riska, teman saya, tak mampu menandingi kecepatan sebaran sel kanker di tubuhnya. Awal tahun ini saya mengantarkannya ke pemakaman.
Riska bukan satu-satunya teman saya yang meninggal karena kanker. Sebelum Riska, saya memiliki empat orang teman yang juga meninggal karena kanker—kanker limfoma, kanker paru, kanker payudara, dan kanker colorectum. Haruskah penyakit kanker berakhir dengan kematian?
“Sebetulnya angka kematian bisa dikurangi. Tapi sebagian besar pasien datang ke kami itu sudah stadium tiga dan empat, karena tidak sadar adanya kanker, tidak mengetahui deteksi dini, dan juga tidak bisa menghindari atau mengubah gaya hidup,” jelas Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia. Padahal kalau segera dideteksi, pengobatan sesegera mungkin akan mengurangi risiko kematian.
Disebut sebagai penyakit mematikan memang benar, tapi sebetulnya kanker bukan pembunuh nomor satu. Di Indonesia, kanker menempati urutan ke-7 sebagai penyebab kematian akibat penyakit setelah stroke, tuberculosis, cedera, perinatal, dan diabetes mellitus. Meski begitu, bukan berarti kita santai saja menghadapi penyakit yang satu ini.