Kanker adalah sel di dalam tubuh kita yang membelah tanpa terkendali. Normalnya sel-sel di dalam tubuh kita membelah secara teratur. Setelah membelah, harusnya sel induk mati.
Tetapi bila sel yang seharusnya mati itu tidak mati, sel yang tidak mati itu akan berkumpul membentuk benjolan (tumor). Bila benjolan atau tumor itu bersifat abnormal atau menyerang jaringan tempat ia berada, itu disebut kanker. Apa penyebabnya? Tak ada satu faktor tunggal pun sebagai penyebabnya. WHO (World Health Organization) menyebutnya sebagai “penyakit gaya hidup.”
“Sama pada setiap kanker, pada umumnya karena lingkungan, gaya hidup, dan bahan-bahan kimia di sekitar kita, juga beberapa jenis virus tertentu. Tapi kanker itu hampir 90% disebabkan oleh lingkungan,” jelas Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia.
Data WHO tahun 2013 mengungkapkan, penderita kanker di dunia saat ini mencapai 14 juta orang. Jumlah penderitanya akan meningkat pada tahun 2025 menjadi 19 juta orang. Jumlah penderita yang meninggal sebanyak 7,6 juta orang per tahun akan meningkat menjadi 8,2 juta bukanlah kabar baik. Mestinya beberapa tahun ke depan dunia medis dengan berbagai penemuannya diharapkan mampu menekan angka kematian akibat kanker. Apa masalahnya?
“Menemukan penyebab kanker saja belum,” jelas dr. Sonar Soni Panigoro, Sp.B Onk, anggota Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Kalau dikatakan faktor keluarga, itu hanya 3%-5%. “WHO mengatakan faktor lifestyle: Obesitas, merokok, alkohol, polusi. Itu hanya 60%-70%. Sisanya belum tahu,” ujar Sonar.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk uji coba, merupakan kendala. Sonar mengatakan bahwa untuk pengembangan obat setidaknya diperlukan waktu 10 tahun. Padahal, mekanisme kanker itu ‘jalurnya’ada 10, untuk menjadi kanker. “Nah, bayangkan, dari yang sepuluh itu, yang mana yang akan kita blok?”
Sepuluh tahun terakhir ini sudah banyak perkembangan. Kalau dulu semua jenis kanker ‘dihajar’ dengan kemoterapi, sekarang tidak. “Dilihat dulu jenis kankernya, tipenya, kemudian dilihat lagi apakah perlu kemo atau tidak. Kalau perlu kemoterapi, kemonya yang mana?” kata Sonar.
Pengobatan utama yang digunakan yang sangat standar tapi (lumayan) efektif meski belum efektif 100% adalah operasi, kemoterapi, sinar atau radiasi, hormonal, dan ada terapi-terapi lain. “Misalnya saja breast cancer yang paling banyak. Dengan pengobatan standar ini kurabilitasnya Cuma 75%. Artinya, masih ada 25% yang gagal. Kita sedang mencari yang 25% ini,” jelas Sonar.
Sonar memberi contoh ditemukannya obat bernama anti Her-2. Untuk seseorang yang kanker payudara positif Her-2-nya, “Satu kali pengobatan dengan anti Her-2 harganya Rp25 juta, diberikan 18 kali setahun. Bisa dibayangkan? Infus ini di luar kemo yang standar.” Ada lagi temuan untuk pengobatan kanker kulit ganas atau melanoma. Bila diterapi kemo, standar efektivitasnya hanya 30%. Tapi dengan obat baru ini pun efektivitasnya tidak lantas menjadi 100%. “Hanya 60 persen. Namanya anti B-RAF, harganya Rp1 miliar untuk pengobatan selama enam bulan. Tapi secara penelitian, ini sudah ‘wow’.”