Terlepas dari harga obat-obatan kanker yang setinggi langit itu, kita memiliki secercah harapan. Saat ini ada tiga pengembangan pengobatan utama. Pertama, pengobatan yang menyasar ke target sel kanker. Kedua, imunoterapi, terapi dengan cara merangsang sistem imun agar bisa mengenali sel kanker. “Yang ketiga, metode pengobatan dengan cara mencari sel induk kanker. Kanker itu mestinya ada induknya, yang disebut cancer stemcell.
Pengobatan standar hanya membunuh sel yang kelihatan, yang tidak kelihatan akan muncul kapan-kapan,” jelas Sonar. Metode ini baru bisa digunakan pada leukemia. Di Indonesia, biayanya Rp1 miliar, di Singapura Rp3 miliar—dan belum bisa untuk kanker padat.
Terapi baru lain yang sudah tersedia di Indonesia adalah pemeriksaan gen, dengan mengambil 70 gen kanker. Dalam dua minggu, bisa diketahui apakah pasien perlu kemoterapi atau tidak. “Kita sudah bisa mengambil 70 gen itu, tapi pemeriksaannya di Amsterdam,” jelas mantan Direktur Utama RS Kanker Dharmais ini. Sudah banyak penelitian menyangkut penyembuhan penyakit kanker. Tapi penelitian itu umumnya dilakukan di luar negeri. Di Indonesia, banyak terkendala biaya. “Anggaran untuk kesehatan dipangkas,” ujar Sonar dengan nada prihatin.
Keterbatasan peralatan bisa jadi juga memberi andil lambatnya penanganan kanker. Contohnya saja ketika Prof. Soehartati, ahli radioterapi tahun lalu mengikuti pertemuan WHO di Swiss. Dipaparkan rasio alat radioterapi dengan penduduknya, di Eropa dan Amerika 1:2 dan 1:3, Indonesia 1:6. “Sama seperti Uganda, Kenya. Itu, kan, negara rusak. Kita kalah sama Filipina dan Vietnam. Sedih banget, kan?”
WHO mengeluarkan aturan, alat sinar radioterapi perbandingan yang ideal, satu alat untuk satu juta penduduk. Jadi, kalau penduduk Indonesia 250 juta orang, harusnya kita punya 250 alat. “Kita hanya punya 40 se-Indonesia. Apa yang terjadi? Di Surabaya, Yogya, Bali, orang lusinan menunggu setahun. Matilah dia. Di Dharmais (menunggu) tiga bulan. RSCM, dua bulan. Hasan Sadikin (Bandung), tiga bulan,” ungkap Sonar gemas. Tak heran bila penyembuh alternatif pun gencar berpromosi.
Pengobatan kanker tidak selalu sama pada setiap kasus. Tapi pada umumnya pengobatan kanker adalah operasi, kemoterapi, radiasi dan obat-obatan. Rangkaian penyembuhan yang menyakitkan dan tidak nyaman. Juga biaya yang menguras tabungan. Kombinasi rasa takut dan tingginya biaya pengobatan, ‘ditangkap’ oleh para penyembuh alternatif yang dianggap bisa menyembuhkan.
“Jangan pernah memilih pengobatan alternatif. Saya sudah pernah,” kata Dewi Yulita, Ketua Harian Cancer Information and Support Center (CISC). Kanker tiroid yang dideritanya pada 1997 sukses diatasi dengan terapi medis. Namun ketika pada tahun 2005 ia dideteksi kena kanker payudara, ia memilih pengobatan alternatif karena takut menjalani operasi lagi. Pengobatan alternatif, mulai dari yang masuk akal sampai yang paling gaib pun, dia coba.
“Yang katanya penyakitnya bisa dipindahkan ke kambinglah. Akibatnya, hanya dalam waktu enam bulan kanker payudara yang awalnya stadium dua jadi stadium empat,” kisah Dewi, yang akhirnya kembali ke dokter. Pada tahun 2008, kankernya menyebar ke paru-paru, tahun 2009 ke otak, dan tahun 2016 ke mediastinum (rongga di antara paru kanan dan paru kiri).
Senada dengan Dewi, Indra Tuti Yati—survivor kanker payudara—juga tidak setuju pengobatan alternatif. Saat dideteksi kanker payudara ia langsung memilih operasi. “Saudara saya ada yang tergiur iklan TV. Obatnya satu paket harganya sampai Rp7 juta, yang paling murah Rp4 juta. Nggak sembuh dan akhirnya meninggal. Di tempat praktik dokter saya, saya juga sering mendengar cerita pasien lain. Ada yang menggunakan alat buatan Warsito tapi tidak berhasil,” ujar Indra.
Apa yang ditawarkan oleh para penyembuh alternatif? “Menurut saya, sih, sangat jelas, cuma bisnis,” ujar Sonar mantap. Misalnya jaket Warsito. Warsito adalah ahli fisika, pintar di bidangnya. Ia mengklaim jaketnya mampu mendeteksi dan menyembuhkan kanker. Cara kerja jaket itu dianggap tidak masuk akal—jaket diklaim bisa mendeteksi sekaligus menyembuhkan.
Tahun 1870 di AS, seorang dokter bernama George A. Scott membuat electric corset. Digunakan berpuluh-puluh tahun tidak ada hasilnya, korset itu dimuseumkan, dan Scott disebut sebagai dokter penipu terbesar abad itu. “Nah, sekarang ada lagi. Kita mau mengulang ke 100 tahun yang lalu?” tandas Sonar. Boleh saja menggunakan medan elektrik untuk penyembuhan kanker. Tapi kalau masih tahap penelitian, jangan dicobakan pada manusia. Apalagi ditarik biaya yang cukup mahal.