
Tetapi tidak dengan Kang Oleh. Ia petani yang bangga akan profesinya. “Ketika berkenalan dengan orang baru, saya selalu mengaku petani,” katanya, “dan saya sangat senang kalau bisa berbagi ilmu.”
Kecintaan Kang Oleh pada dunia tani terasa betul ketika ia merawat kami. Ya, saya tahu bahwa tak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah pertanian adalah 100 persen organik. Tetapi dari apa yang saya dan Bayam Hijau lihat, rekan-rekan YUM telah berusaha semaksimal mungkin.
Air untuk memandikan kami, misalnya, berasal langsung dari sumur. Vidian Purbosari, S.P., Project Support di pertanian YUM, bilang bahwa mereka tidak menggunakan air PAM untuk menghindari bahan-bahan artifisial di dalamnya. Di dunia Anda, mungkin rasanya sama dengan mandi dan minum pakai air berkaporit.
Soal pupuk pun demikian. “Kami sering banget ditawari pupuk oleh pabrik, tetapi terpaksa menolak,” jelas Vidian. Lagipula, Kang Oleh sudah jago mengolah pupuk kompos. Buat apa makan junk food kalau ada makanan sehat?
Tempat tinggal kami pun tak hanya ditanami sayur-sayuran. Ada banyak tanaman lain – biasanya beraroma tajam - yang sengaja ditanam untuk mengusir hama.
Selain dengan tanaman, cara lain mengusir hama adalah dengan tidak menanam lahan tertentu dengan tanaman yang sama, secara terus menerus. Prinsipnya adalah mengecoh. Para hama yang coba memburu saya dan Bayam Hijau, misalnya, akan kecele ketika mendapati kami sudah berpindah lahan tinggal. Itu sebab, sejak lahir hingga besar, hidup saya dan teman-teman relatif aman dan tenteram.
Bagaimanapun, manfaat dari pertanian organik tak cuma terasa bagi kesehatan kami para sayuran, melainkan kesejahteraan para petani. Di sinilah formula organik plus farm-to-table jadi sangat menguntungkan.
Pertanian organik umumnya memiliki ongkos produksi lebih tinggi dari pertanian biasa. Pemainnya sedikit dan biasanya kompak tergabung dalam komunitas. Lahan pertanian organik juga kerap ditanami berbagai jenis tanaman, beda dengan pertanian biasa yang cenderung menanam satu jenis dalam satu lahan. Tetapi bagaimana ini semua bisa menguntungkan petani?
Prinsip farm-to-table akan menambah keuntungan petani. Jalur distribusi pangan di Indonesia itu panjang dan pelik.
Pertama, lahan yang diisi bermacam tanaman memperkecil risiko petani ketika ada bencana gagal panen. Ketika yang gagal selada, mereka masih punya tomat. Ketika yang gagal tomat, mereka masih punya toge. Dan seterusnya.
Kedua, ongkos produksi dan hasil yang berkualitas tinggi, jika disilangkan dengan jumlah pemain yang sedikit, akan mendukung harga jual yang bagus bagi petani. Petani organik bisa menjual saya, Bayam Merah, dengan harga 2-4 kali lipat lebih tinggi.Hal ketiga adalah stabilitas harga. Anda mungkin ingat ketika beberapa waktu lalu harga cabai meroket karena pasokan sedikit. Menurut Ifan, saat itu sebetulnya perbandingan jumlah produksi dan konsumsi cabai berada dalam level normal. Dugaannya, harga cabai meroket karena ada kartel yang menahan pasokan itu. Nah, dunia organik tidak mengenal hal-hal macam itu. Masa, sih, Anda rela membayar mahal untuk cabe-cabean?
Hal menarik lain adalah, seperti yang saya bilang tadi, prinsip farm-to-table akan menambah keuntungan petani. Jalur distribusi pangan di Indonesia itu panjang dan pelik. Yang umum adalah seperti ini: Petani-Tengkulak-Pasar besar/Supermarket-pasar kecil-restoran atau rumah. Kalau untuk padi malah lebih panjang. Ada pengumpul dan penggiling. Repot, kan?
Perlu dicatat bahwa, di setiap titik tersebut, harga meningkat. Sialnya, yang dapat untung paling besar biasanya justru di titik-titik tengah. Petani hanya mark-up sedikit sekali. Posisi tawar mereka memang lemah. Nah, sekarang bayangkan apa yang bisa dilakukan farm-to-table untuk memperbaiki itu.
“Harga untuk petani bisa berkali-kali lipat lebih tinggi. Mereka bisa mendapat penghidupan yang lebih layak,” tutur Helga. Bagaimana tidak? Farm-to-table memangkas jalur distribusi itu jadi cuma petani ke restoran atau rumah. Efektif. Efisien. Di sisi lain, masyarakat diuntungkan karena mendapat bahan pangan yang lebih segar. “Harganya pun bisa lebih murah 25 persen dari supermarket,” kata Kang Oleh.