
Bayangkan, pulau sekecil Flores ternyata menyimpan keindahan alam dan budaya yang komplet. Tak heran bila Flores selalu memanggil-manggil saya—Nila Tanzil—untuk kembali ke sana.
Bagi saya, Flores ibarat kampung halaman kedua, setelah Jakarta. Sejak pertama kali berkenalan dengan alam bawah lautnya yang cantik di perairan Pulau Komodo pada tahun 2009, saya seperti kena pelet alias jampi-jampi untuk terus kembali ke sana. Bukan hanya untuk menikmati pemandangan bawah lautnya—yang di mata saya merupakat diving spot paling cantik sedunia—tapi juga menyisir daratannya yang ternyata menyimpan 1001 harta karun yang luar biasa.
Pulau sekecil itu (luasnya hanya 13.540 km² dan panjang 354 km, plus beberapa pulau kecil di sekelilingnya) ternyata menyimpan bermacam objek wisata yang sungguh komplet.
Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diapit oleh Pulau Sumbawa di sebelah barat, Pulau Sumba di selatan, dan Pulau Timor di tenggara, pulau ini terbagi lima kabupaten (Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur).
Kali ini saya memulai petualangan dari arah timur ke barat, tepatnya dari Kota Maumere di Kabupaten Sikka. Kota ini terkenal dengan tradisi Katolik yang kental. Maumere merupakan kota terkecil di dunia yang pernah dikunjungi Sri Paus (Paus Yohanes Paulus II) pada tahun 1989. Anda bisa mendaki Bukit Nilo untuk mencapai patung Bunda Maria Segala Bangsa. Banyak yang datang ke sini sebelum fajar, untuk mengejar pemandangan sunrise yang sangat indah, dengan latar belakang patung Bunda Maria setinggi 16 meter tersebut
Di Maumere kita juga bisa mengunjungi beberapa desa tenun. Yang paling terkenal adalah Desa Sikka, salah satu sentra tenun di Flores. Hampir setiap rumah di desa ini memiliki peralatan tenun, dan sebagian besar wanitanya bekerja sebagai penenun. Kita bisa melihat proses pembuatan tenun—dari memisahkan kapas dari bijinya, memintalnya sampai menjadi benang, hingga menenun hingga menjadi kain tenun yang indah. Wisatawan juga bisa membeli kain tenun langsung ke penenunnya.
Dari Maumere saya beranjak ke Kabupaten Ende. Di kabupaten inilah terdapat Gunung Kelimutu yang kalderanya, Danau Tiga Warna atau Danau Kelimutu terkenal ke seluruh dunia. Kalderanya berupa tiga danau dengan warna yang berbeda-beda, yaitu merah, biru, dan putih—meskipun warna-warna itu selalu berubah-ubah setiap waktu. Tidak sulit mencapai danau-danau ini. Dari tempat parker kendaraan, kita tinggal trekking sekitar 30 menit melewati jalan tanjakan yang sudah dibangun bagus.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada Danau Kelimutu memiliki arti masing-masing. Danau berwarna biru (Tiwu Nuwa Muri Koo Fai) merupakan tempat berkumpulnya arwah orang-orang yang mati muda. Danau warna merah (Tiwu Ata Polo) tempat berkumpulnya arwah-arwah orang yang selama hidupnya selalu melakukan kejahatan. Sedangkan danau berwarna putih (Tiwu Ata Mbupu) tempat berkumpulnya arwah orang-orang yang meninggal di usia tua.
Dari Ende, saya pindah ke Kabuparen Ngada untuk menikmati island hopping di Kepulauan Riung. Taman wisata alam yang terdiri atas 17 pulau kecil-kecil ini sangat sayang bila dilewatkan. Pemandangan pulau-pulau kecil bagai hamparan batu permata di tengah laut yang biru kehijauan.