“Bekerja dengan para perajin bisa sangat frustrating,” cerita Nonita. Nonita adalah perempuan yang melek tren, lama hidup di kota besar di dalam dan luar negeri, serta akrab dengan cara kerja industri. Tidaklah mengherankan jika ia frustrasi saat pertama kali bekerja sama dengan perajin yang masih memakai cara kerja lama.
Persoalannya macam-macam; dari kesalahan soal warna yang tidak akurat, hingga ketidakmampuan penrajin untuk mengikuti standar yang diinginkan klien. Kalau sudah begitu, Nonita akan frustrasi. Ia mau pusing soal bagaimana menjual produk, tetapi tidak di saat pembuatan. Ia percaya bahwa proses kreasi semestinya dilakukan dengan bahagia. “Jadi, ketika seseorang memakai barang kita, akan terasa cintanya.”
Nonita menyiasati masalah itu dengan membuat Purana lebih dekat dengan perajin. “Mimpiku adalah: bangun tidur, mandi, ketemu perajin, diskusi. Tapi itu tidak mungkin, kan?” katanya. Akhirnya, ia memilih mempekerjakan para perajin dan memberi mereka tempat bekerja. “Memang ada overhead cost untuk gaji dan sewa rumah. Tapi less headache. Lagi pula, working with my own kids memberi kebebasan lebih untuk bereksplorasi.”
Akhirnya, Purana mulai menemukan ciri khas, bahkan mengolah kain sendiri. Modern, relax, unique dan handmade adalah kata-kata yang menggambarkan koleksi Purana. “Modernized Indonesian textile,” jelas Nonita tentang apa yang membedakannya dengan lini busana batik lain. “Itu DNA kita. Dan handmade memang 100% memusingkan, in a good way. Kita harus sabar dengan ketidaksempurnaan. Karena kadang-kadang, ketidaksempurnaan itulah yang menghasilkan kesempurnaan.”
[Baca juga kisah wanita pendiri sekolah coding untuk anak]