
Milenial juga manusia (pastinya), yang punya rasa dan punya hati, walau kadang hal itu diungkapkan secara super berlebihan di akun media sosial.
Saya memiliki fase ketika tergila-gila pada boyband. Ketika itu saya masih duduk di sekolah dasar hingga awal SMP. Ada pin Jordan Knight, anggota New Kids on the Block paling ganteng, menurut saya kala itu, di tas sekolah saya. Posternya pun menghiasi kamar saya. Tentu saja koleksi kaset (ups!) saya lengkap dan saya pun hafal mati lirik lagu-lagu mereka dan juga biodata para anggotanya. Jika saya mendengar suara mereka di televisi saat saya sedang berada di ruangan lain, saya pun akan berlari ke depan televisi untuk menonton mereka.
“Dasar ABG (Anak Baru Gede),” begitu kata kakak saya menanggapi kegilaan saya dulu. Ia sudah kuliah waktu itu. Saya masa bodoh mendengarnya. Orang dewasa memang tidak mengerti kehidupan anak muda, jadi tak perlu ikut-ikutan komentar, itu pikiran saya.
Beberapa tahun kemudian, saya sudah bekerja setelah menamatkan pendidikan tinggi. Adik sepupu saya, yang usianya 11 tahun lebih muda, sedang memperlihatkan blognya. Di masa itu, blog masih barang langka, belum trendi seperti sekarang. “Ini fungsinya apa?” saya bertanya. “Untuk berbagi cerita sehari-hari.” “Jadi seperti menulis buku harian untuk dibaca orang banyak?” saya bertanya lagi. “Seperti itulah,” ia menjawab.
Konsep berbagi cerita pribadi ke orang banyak saat itu tidak masuk dalam logika saya. Menanggapinya, saya hanya bisa bergumam dalam hati seperti ucapan kakak saya dulu, “Dasar ABG”.
[Ini cara bersaing dengan Generasi Milenial]