.jpg)
Soal penggila gadget sepertinya paling mudah terlihat. Mengajak anak-anak pergi liburan bersama keluarga berarti orang tua harus siap menyediakan kuota internet agar mereka bisa posting status, foto, atau video kegiatan liburan mereka di media sosial. Jika Anda jalan-jalan ke mal dan melihat sekumpulan anak muda, coba perhatikan—mereka pasti mengecek ponsel mereka setiap beberapa menit.
Soal pemakaian internet, Firman Kurniawan, Pengajar Pasca-Sarjana Komunikasi Universitas Indonesia menganalogikannya seperti ini, “Internet untuk Generasi Milenial sama saja seperti kita melihat televisi.” Saat kita lahir, televisi sudah diciptakan dan orang tua kita sebagian besar sudah punya televisi. Untuk kita, televisi adalah barang biasa saja, tetapi belum tentu orang tua kita beranggapan demikian.
Waktunya berubah
Berkembangnya teknologi informasi mengubah cara kita berkomunikasi yang kemudian mengubah budaya kita. Ini adalah tantangan baru. Saya bisa mengobrol dengan sahabat saya yang tinggal di Inggris seperti ia ada di depan saya lewat Facetime. Saya bisa mendengar intonasi suaranya dan melihat mimik wajahnya. “Secara substansi memang lebih enak bertemu langsung dibanding via teknologi. Tapi esensinya tetap sama, ada pertemuan,” kata Firman.
Ada kemudahan yang kita dapatkan dari teknologi. Untuk mengetahui sesuatu, kini kita hanya perlu membuka kunci ponsel, mengetik kata kunci di search engine, lalu keluarlah hasilnya. Proses mencari informasi yang instan ini ditengarai menjadi kambing hitam untuk sifat para milenial yang cenderung mengabaikan segala sesuatu. “Mereka menjadi tidak terlatih menghadapi tantangan,” ujar Ajeng Raviando, Psikolog di Teman Hati Konseling dan juga Konselor di LaSalle College International. Ini akhirnya membuat banyak para milenial gampang menyerah saat menemukan masalah di luar zona nyaman mereka.