
Beberapa tahun lalu saya menggunakan transportasi publik (busway) Trans Jakarta dengan rutinitas naik dari halte di depan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan, dan turun di halte Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Sekitar tahun 2015, halte busway Al Azhar mulai berpindah tempat, dari awalnya di tengah-tengah Jalan Sisingamangaraja menjadi di tepijalan. Ternyata saat itu pembangunan Mass Rapid Transit Jakarta (MRT) mulai dilaksanakan.
Hampir setiap hari dari dalam Trans Jakarta yang cukup tinggi saya melihat (lebih tepatnya berjinjit dan mengintip) kesibukan pekerja yang berada di balik pagar seng tinggi yang memblokade area tersebut.
Sebagai penggemar visual, saya senang dengan apa yang saya intip saat itu. Peralatan berat berjajar rapi, besi-besi panjang, pendek, melingkar, segala jenis yang saya tidak akrab jenis dan namanya. Para pekerja dengan seragam sesuai standar keselamatan terlihat rapi dan fokus pada pekerjaannya.
Pada 14 Agustus 2017, saya dan beberapa rekan media mendapat kesempatan melihat langsung progres dari pembangunan MRT Jakarta.
Sebelum pukul 7 pagi saya sudah sampai di area pusat tempat MRT ini nantinya akan dioperasikan, yaitu di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Pagi itu, William Sabandar, Direktur Utama PT. MRT Jakarta, beserta jajaran direksinya dan para konsultan serta penanggung jawab dari setiap kontraktor dalam proyek MRT Jakarta, menemani langsung perjalanan kami.
Setelah kami memakai atribut atau perlengkapan yang sesuai standardisasi keselamatan selama berada di dalam area proyek, yaitu helm lapangan, rompi keselamatan, dan sepatu bot karet, kami diajak berkeliling di sekitar area rel di Terminal Lebak Bulus.
Dalam area seluas 10 hektar itu, akan dibangun depo kereta, pusat operasional, dan workshop atau tempat pemeliharaan kereta. Dalam pembangunan ini, Terminal Lebak Bulus dibangun ulang, dan seluruh transportasi publik akan terintegrasi; MRT, Trans Jakarta, plus lahan parkir, serta lokasi drop off.
Center of the Nerves atau seluruh pengoperasian MRT akan dilakukan dari sini, tepatnya bakal berada di lantai 4 bangunan utama.
Dari Lebak Bulus, rombongan kami dibawa ke area yang nantinya akan menjadi Stasiun Fatmawati. Lokasinya ada di sudut Jalan Fatmawati menuju kawasan Cipete atau Blok A.
Di area ini kami melihat viaduct atau jalanan kereta yang melengkung atau membelok dengan sudut 90 derajat, salah satu pengerjaan yang memerlukan presisi dan ketelitian. Viaduct ini memiliki tinggi 30 meter dan berada di atas jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR). Semua pengerjaan tidak boleh mengganggu arus lalu lintas di jalan tol.
Untuk pengerjaan viaduct yang berbelok ini seluruhnya dikerjakan di atas permukaan tanah. Jika di area lain proses pengecoran beton dilakukan di bawah baru kemudian diangkat ke atas, maka di area yang tidak bisa mengganggu arus tol JORR ini dilakukan teknik yang disebut balance cantilever, menggunakan form traveler.
Bayangkan proses pembuatan beton berbentuk lengkungan 90 derajat; jika dimulai dari salah satu sisi, keseimbangan dan bobot bisa membuatnya jatuh. Teknik balance cantilever ini adalah teknik yang mengandalkan keseimbangan dari bobot kiri dan kanan.
Setiap segmen pengecoran menghasilkan 4 meter beton, tahap demi tahap setiap hasil dari pengecoran pada segmen baru akan mendorong beton dari segmen sebelumnya. Begitu terus hingga kedua ujung akan bertemu dengan tepat dan presisi.
Sebuah proses yang tidak boleh salah. Jalanan melengkung ini telah berhasil diselesaikan dalam waktu 4 bulan, tepatnya selesai pada bulan April 2017 lalu.