Di era disruptive media, ia dan timnya justru melihat cairnya platform antara media cetak, digital, sosial, dan juga event. Satu hal yang ia jaga adalah kualitas konten yang dihasilkan. “Di masa banyak media menurunkan mutu kontennya, kami tetap menjaga kualitasnya,” ujar Svida.
Ini adalah salah satu bentuk kontribusinya menjaga penyebaran berita bohong (hoax) di masyarakat. “Kalau tidak, semakin lama kita bisa menjadi masyarakat yang dangkal dan begitu gampangnya mempercayai hoax,” ujarnya.
Svida berharap agar para generasi muda selalu bersemangat dalam mencari pengalaman, berpikiran terbuka, menghargai alam dan lingkungan sekitar, memahami isu-isu sosial, memiliki keinginan untuk berkarya, serta siap dengan tantangan global. Ini berkaitan dengan sesuatu yang tidak sempat ia lakukan dulu.
“I didn’t travel enough when I was young,” begitu pengakuannya. Dengan kesibukan dan tanggung jawabnya saat ini, traveling panjang adalah kemewahan untuknya. Jika diberi kesempatan, ia ingin sekali pergi untuk menyepi, bersatu dengan alam dan masyarakat sekitar.
Destinasi impiannya beragam, mulai dari Patagonia di Argentina atau ke bagian timur Indonesia, misalnya Sumba, Nusa Tenggara Timur.
“Kita harus memperlajari kebudayan lain, terutama Indonesia,” ia berkata. Dengan dua anak kembarnya, Jojo dan Giri, ia menjalaninya. Ia berbagi pengalaman ketika ia dan Jojo mengunjungi Sumba. “Kami menyisir pantai-pantai perawan selama satu minggu,” Svida bercerita salah satu kegiatan mereka.
Perjalanan ini menjadi seperti perjalanan spiritual untuknya. Dikelilingi keindahan alam yang tiada tara, di sana, ia melihat kondisi hidup masyarakat sekitar yang memprihatinkan, antara lain karena sistem irigasi yang kurang baik dan tidak adanya pertanian.
Salah satu dampaknya, banyak malnutrisi. “Saya tantang Jojo yang usianya 19 tahun berpikir untuk membuat perubahan di sana.”
Memasuki usia 55 tahun, Svida memiliki cita-cita pribadi yang ingin ia capai, six majors before sixty. Yang ia maksudkan adalah enam lomba maraton dunia; Berlin, Chicago, London, New York, Boston, dan Tokyo. Ia menikmati latihan ketahanan diri dari olahraga ini.
Ia menggambarkan hidupnya bak sebuah perjalanan. Perjalanan kegagalan dan kesuksesan. “Saya rasa merasa puas dengan satu kesuksesan itu tidak baik,” ujarnya.
Ia teringat kata-kata Jonatan Christie setelah meraih medali emas di Asian Games 2018, ‘Hari ini saya mendapat medali emas, tapi besok saya akan mulai dari nol lagi’.
Begitu pun Svida melihat hidupnya. Tahun ini ia bisa sukses menggelar Jakarta Fashion Week dan Jakarta Eat Festival, namun keberlanjutannya terus ia pikirkan.
Untuk Svida, kegagalan adalah waktunya untuk belajar. “Rasa penyesalan hanya akan menghilangkan kesempatan,” ujarnya. “Jika kita sudah bisa belajar dari kegagalan, di kesempatan berikutnya, kita pasti bisa meraihnya. Sukses adalah kombinasi dari banyak hal.”
Ide yang bercampur dengan konsep yang kuat, tekanan, ketahanan, dana, dan juga keberuntungan. Yang terakhir adalah waktu kesempatan bertemu dengan kesiapan diri. Ketika hasil telah tercapai, kerja keras tetap berjalan untuk menganalisis dan mencari jalan yang lebih baik dan menggapai hasil yang lebih maksimal.
Memimpin perusahaan, sukses mengadakan sebuah event besar, menerjemahkan ide menjadi sesuatu yang nyata, mendampingi anak-anak hingga bisa lulus sekolah, itu semua adalah pencapaian yang sama pentingnya.
Svida merasa tidak ada satu pencapaian yang terhebat. Semuanya memiliki peran yang sama pentingnya dalam hidup. Lima hingga 10 tahun lagi, kembali lagi ke passion-nya soal makanan, ia bercita-cita untuk berkiprah di bidang pertanian.
“Saya belum tahu seperti apa bentuknya. Tapi saya ingin membuat perubahan memasuki usia 60 tahun, memiliki partisipasi dalam keberlanjutan pangan,” ujarnya.
Foto: Dachri M.S
Pengarah gaya: Ai Syarif
Lokasi: Fashionlink x Blckvnue lantai 2 Senayan City, Jakarta
Artikel ini dimuat di Majalah Dewi edisi November 2018
Klik dewimagazine.com untuk artikel profil, gaya hidup, dan fashion lainnya