.jpg)
Asisten rumah tangga Anda meminjam uang Rp10 juta pada Anda. Ibunya yang sudah tua di kampung mengalami patah kaki dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Padahal, dua minggu lagi Anda berencana berlibur ke Bali bersama keluarga untuk merayakan ulang tahun putri Anda.
Mungkin yang Anda lakukan adalah salah satu dari tiga pilihan berikut.
Pertama: Anda merasa sebal, karena ART Anda selama ini tak pernah mau menabung. Padahal, gaji yang Anda berikan terhitung besar dan semua kebutuhannya sehari-hari sudah Anda penuhi.
Kedua: Anda ingin meminjamkan, tapi kepala Anda sibuk berhitung. Kalau dipinjamkan, berarti anggaran liburan ke Bali berkurang, sehingga ada beberapa acara yang harus dipangkas, dan dipastikan putri Anda bakal ngambek. Kesimpulan dari dua pilihan itu: Anda tak mau meminjamkan.
Ketiga: Tanpa berpikir panjang Anda memberi pinjaman. Soal liburan ke Bali, kan, bisa dicukup-cukupkan. Yang penting, ibunda ART Anda bisa segera diobati.
Apa pun pilihan yang diambil, tentu sepenuhnya merupakan hak Anda.
Kalau mau jujur, ada kalanya kita merasa berat untuk mengeluarkan sedekah, meskipun jelas-jelas kondisi finansial kita memungkinkan. Contoh kecil, kita tak keberatan membayar parkir di mal sampai Rp20 ribu, tapi enggan mengeluarkan seribu rupiah saja untuk pengemis atau pengamen di jalanan.
Tentu Anda punya alasan sendiri. Mungkin Anda menganggap pengemis atau pengamen hanyalah orang-orang malas yang tak mau bekerja keras. Atau, Anda takut memberi uang karena bisa saja mereka malah menyodorkan pisau di saat Anda membuka jendela mobil.
Lagi-lagi, adalah hak pribadi Anda untuk memberi atau tidak memberi sedekah. Namun, menurut Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, cendekiawan Islam dan mantan Wakil Menteri Agama RI, jika Anda memang tidak berniat membantu, “Alangkah baiknya tidak pakai mengomel, menceramahi, apalagi memarahi orang yang meminta sedekah atau bantuan pada Anda.”