
Dibesarkan dalam keluar ga dari suku Minang, menikmati rendang adalah perkara biasa untuk saya. Setiap kali ibu saya ingin memasak rendang, kuali khusus pun keluar dari lemari. Walau tidak memasaknya menggunakan kayu bakar, perlu kompor yang berdiri sendiri untuk mengakomodasi kuali itu.
Rendang bukan lauk yang bisa dimasak setiap hari di rumah saya. Walau begitu, hampir setiap saat rendang ada. Jika tidak di meja makan, rendang bisa ditemukan di lemari es, membeku, menunggu untuk dipanaskan dan dinikmati. Dulu saya tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memasaknya. Yang saya sadari, memasaknya perlu waktu lama, bahkan bisa sampai berhari-hari.
“Butuh waktu enam hingga delapan jam memasaknya,” ujar Marco Lim, Executive Chef restoran Marco Padang Peranakan. Ia sedang membicarakan rendang yang kering dan berwarna hitam. Selama waktu itu pula, masakan tidak boleh ditinggalkan, harus terus diaduk. “Jika sudah hangus, ya sudah, tidak bisa diapa-apakan lagi,” begitu kata Marco.
Rendang sendiri bukan nama masakannya. Reno Andam Suri, pemilik rendang Uni Farah dan penulis buku Rendang Traveler, menuliskan rendang adalah proses memasak, bisa juga diartikan sebagai menggoseng atau mengaduk masakan yang tiada henti.
Dimulai dari memilih bahan yang terbaik hingga menyiapkan waktu untuk memasaknya. Proses inilah yang kemudian membuat rendang menjadi istimewa. “Warnanya yang tidak biasa, namun ternyata rasanya luar biasa, membuat rendang diingat terus dan disukai banyak orang,” kata Reno.
Seperti masakan Indonesia pada umumnya, rendang digarap dari bermacam bumbu. Jahe, serai, cengkeh, kemiri, lengkuas, bawang putih, daun jeruk, asam kandis, dan tentu saja cabai, bersatu padu menghasilkan hidangan yang super nikmat ini. Santan juga menjadi penentu hidangan ini.
Menurut Reno, untuk 1 kilogram daging dibutuhkan 3 hingga 5 kelapa, tergantung jenis kelapa yang digunakan. Sajian rendang tidak sebatas daging sapi saja. Ayam, telur, kentang bisa dirandang.