“Ternyata tidak benar, tuh, kalau Jakarta macet. Buktinya selama di sini, saya tidak merasakannya,” canda kolega saya dari Swedia, Boel Lindbergh.
Boel adalah Head of Group Deputy Director dari Communications Department International Press Centre di Kementerian Luar Negeri Swedia, yang mengikuti rombongan kunjungan kenegaraan Raja Carl XVI Gustaf dan Ratu Silvia dari Swedia bulan Mei silam.
Boel tentu saja bercanda—kemacetan Jakarta yang hits itu tentu saja tak perlu ia rasakan sebagai tamu negara.
Ketika Mei lalu saya dan beberapa rekan media diundang ke Stockholm oleh Kedutaan Besar Swedia di Jakarta, topik kemacetan menjadi salah satu bahan diskusi kami.
Bukan membandingkan mana yang lebih ‘juara’ macet (semua juga tahu, dong, juaranya), tapi belajar dari inisiatif yang ditawarkan City of Stockholm kepada penduduknya.
Sebagai ibu kota Swedia, salah satu negara termaju di Eropa, Stockholm adalah kota modern dengan mobilitas tinggi. Namun kota seluas Jakarta Timur ini penduduknya sedikit (920 ribu jiwa). Bahkan Stockholm Country, yang terdiri atas beberapa pulau kecil, hanya dihuni 2,1 juta jiwa.
Karena itu, masalah kemacetan yang dialami Stockholm tak bisa dibandingkan dengan Jakarta, yang jumlah penduduknya 10 juta jiwa. Jumlah yang sama dengan total seluruh penduduk Swedia saat ini.
Tapi sebagai kota modern, kemacetan ada dalam dinamika urban Stockholm. Berhubung Swedia adalah negara Skandinavia yang menerapkan gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan, menyelesaikan masalah kemacetan pun prinsip ini jadi prioritas.
“Dalam membangun Stockholm, prinsip kami adalah kota yang cerdas dalam mengelola energi,” jelas Linda Holmström, Policy Advisor dari Kantor Eksekutif City of Stockholm.
Dan kemacetan bukan saja membuang waktu, tapi juga membuang energi. Belum lagi emisi dari bahan bakar kendaraan yang mengotori planet ini gara-gara terjebak macet.
Tak heran urusan emisi gas rumah kaca ini, City of Stockholm memasang target tinggi: Tahun 2020, emisi gas rumah kaca per penduduk Stockholm 2,3 ton per tahun. Mereka memasang target 3 ton di tahun 2015, dan berhasil mencapai angka di bawahnya, 2,5 ton.
“Kami punya target jangka panjang: Stockholm bebas kendaraan dengan bahan bakar minyak di tahun 2030,” ujar Linda.
Tapi target bakal tinggal target jika hal ini tidak diikuti kesadaran warga. Bagaimana bisa sukses jika warganya tidak mau menerima bahwa mobil pribadi itu penting, tapi bukan alat transportasi utama.
Warga juga harus mau menjalani mobilitas mereka dengan transportasi umum. Dan mereka pun rela kalau di daerah rawan macet, berlaku congestion charge atau tarif tol di saat macet.
Menurut Anna Johansson, Menteri Infrastruktur Swedia, perlu ditumbuhkan kesadaran warga untuk menerima adanya congestion charge itu, juga kesadaran lebih jauh bahwa mobilitas tinggi tak harus dengan mobil pribadi.
“Kami mengadakan referendum sebelum menetapkan congestion charge. Di Stockholm, penduduknya memberi respons positif. Namun di kota kedua terbesar di Swedia, Gothenburg atau Göteborg, penduduknya memberi respons berbeda,” jelas Anna.
Di Stockholm, penerapan congestion charge memberikan hasil yang baik: Kemacetan berkurang 30% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Transportasi umum juga harus meningkatkan kualitasnya. Sekarang, di Stockholm makin banyak ruang untuk bus dan sepeda. Soalnya, antrean bus atau macet naik bus tentu tidak menarik untuk dipilih,” kata Linda.
Dengan luas 188 km persegi, Stockholm memiliki 800 km jalur sepeda. Dalam 10 tahun terakhir, pengendara sepeda naik 70%, dan selama musim panas, 15% dari penduduk Stockholm memilih naik sepeda untuk menjalankan kegiatan mereka.