Selama di Stockholm, saya mencoba semua transportasi umum yang tersedia. Ada kereta, bus, trem, juga boat. Taksi juga ada, dengan mobil merek Volvo bermesin mendesis halus, dan bahan bakar listrik.
Jangan tanya tarifnya—untuk jarak tempuh 15 menit saja, saya bisa membelanjakan jumlah yang sama dengan total look keren di H&M.
Di Stockholm, saya juga berjalan dan berjalan. Selain udara nyaman, jalur pedestrian atau pejalan kaki memang menyenangkan. Fasilitas untuk pejalan kaki bakal ditingkatkan, termasuk menambah penerangan, dan di musim dingin salju tidak menghalangi jalanan.
“Kota yang baik itu ramah lingkungan dan walkable, bisa dijangkau pejalan kaki dengan nyaman,” Linda menegaskan.
Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa mobilitas di Stockholm, seperti ditekankan Anna dan Linda, bukan soal distribusi kendaraan. “Lalu lintas itu adalah suatu kompromi bagaimana manusia dan aktivitas mereka bisa terkoneksi, bukan bagaimana manusia dengan kendaraan,” jelas Linda.
Tak heran kalau prinsip Stockholm adalah kota modern dengan mobil, bukan kota yang dibangun demi mobil-mobil bisa lewat (yang akhirnya bisa bikin macet lagi). Mobil pribadi lebih efisien dengan opsi carpool, juga menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.
“Lalu lintas itu harus bisa diandalkan,” kata Anna lagi. “Orang harus bisa memperkirakan berapa lama perjalanan yang ia tempuh, apa pun transportasi yang ia pilih.”
Suatu hal yang bisa jadi cita-cita saya sebagai penghuni Jakarta. Pada akhirnya, kemacetan hanyalah bagian dari dinamika kota yang bermobilitas tinggi, bukan yang menentukan kota itu.
Kota yang selalu bergerak, bukan kelamaan diam karena macet.