
Demikian pendapat penulis buku The Cinderella Complex, Colette Dowling. Menurutnya wanita menatap cermin guna mempertahankan keseimbangan dirinya. Kata Dowling, kebutuhan untuk menjadi yang terbaik sebagai ‘wanita tercantik di seluruh jagat’, sesungguhnya muncul dari perasaan tidak berharga.
Dra. Agustine Sukarlan Basri, M.Si. psikolog dan dosen Psikologi Perempuan & Gender’ dari Fakultas Psikologi UI, menjelaskan bahwa konsep Cinderella Complex yang ‘diciptakan’ oleh Collete Dowling sebagai serangkaian gejala psikologis yang dialami wanita yang takut akan kesuksesan (fear of success). Dowling menulis buku tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya yang dikupas melalui pendekatan teori psikoanalis dan belajar sosial (modeling). Ia mencoba menggambarkan besarnya peran ibu dalam pembentukan citra diri anak, terutama anak perempuan. Segala sikap, emosi dan perilaku ibu terhadap anak akan menjadi cermin bagi anak dalam memandang dirinya.
Dulu, hal yang lebih mendapat perhatian ibu adalah kulit luarnya saja. Anak perempuan harus tampil cantik, wangi dan sempurna dalam penampilan. Bisa dipahami karena nilai wanita tempo dulu adalah menekankan pada femininitas. Hal ini sebenarnya sah saja, asalkan tidak terlalu berlebihan dan perlu diimbangi dengan pengembangan inner beauty.
Namun agar tidak terpaku pada citra diri wanita yang konservatif, kita dapat memutuskan ‘warisan’ nilai feminin dari ibu kita dan mengubahnya sesuai dengan tuntutan zaman. Meskipun hasrat berprestasi atau kemandirian jarang ditanamkan dalam diri wanita sejak kecil, namun sudah saatnya wanita berani menunjukkan potensi yang dimiliki serta menggunakan kesempatan untuk meraih kesuksesan dalam bidang apapun. Di sinilah sebenarnya Dowling juga ingin mengajak wanita untuk tampil percaya diri pada kemampuan dan kemandiriannya.
Selanjutnya, apabila kita sudah menjadi ibu, hendaklah dapat menjadi ‘cermin’ yang baik bagi anak, terutama anak perempuan. Kita diharap bisa memberi penilaian obyektif terhadap kelebihan-kekurangan yang dimiliki sang anak. Mulailah mendidik putri kita dengan nilai-nilai yang bersifat androgynous, mengkombinasikan nilai maskulin dan feminin secara proporsional. Sehingga nantinya ia dapat menghargai dirinya, tidak hanya dari penampilan atau kecantikan secara fisik, tetapi juga dari prestasinya. Boleh saja mempunyai harapan tertentu pada anak dan tidak memaksakan kehendak. Dengan demikian diharapkan kelak, anak dapat mengembangkan citra dirinya, memiliki rasa percaya diri dan mandiri.
Shinta Kusuma