Ternyata, perkiraan tujuh jam hanya di atas kertas, dengan asumsi jalanan lancar, kondisi kendaraan tokcer, dan hari cerah. Berangkat pukul 8 pagi, melewati beberapa kota dan kabupaten, antara lain Pangkajene, Pare Pare, dan Enrekang, perjalanan kami berkali-kali terhambat oleh lomba gerak jalan menyambut 17 Agustusan. Bahkan, di Enrekang, jalan utama ditutup sampai sore untuk gerak jalan, sehingga semua kendaraan harus lewat jalan alternatif yang memutar. Untunglah kami cukup terhibur dengan pemandangan indah berbukit-bukit di sepanjang perjalanan, terutama saat melewati Pegunungan Nona yang sore hari tampil dengan lekuk-lekuk lerengnya yang sempurna.
Alhasil, hari sudah lewat senja ketika bus memasuki wilayah Tana Toraja. Dan, ternyata perjalanan belum berakhir. Berhenti sebentar di Makale (ibukota Kabupaten Tana Toraja), baru pukul 19.30 kami tiba di Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, yang merupakan pusat budaya suku Toraja. Jika ditotal, lama perjalanan kami mencapai 11,5 jam!
Namun, semua kelelahan terbayar lunas pada keesokan harinya. Meski termasuk dingin –Rantepao dikelilingi pegunungan-- kami disambut pagi yang cerah tanpa kabut. Apalagi, pagi itu kami ditemani oleh Gibson Danga, pria asli Toraja yang sehari-hari bekerja sebagai guide. “Siap bertualang ke dunia roh?” ia menantang sambil tertawa. Uh, siapa takut?
Gibson agak menyayangkan kami baru tiba kemarin malam. “Coba datang kemarin pagi, kamu bisa lihat upacara pemakaman, meskipun hanya potong dua kerbau,” katanya. Bukannya menyesal, saya justru bersyukur. Sedahsyat apa pun kata orang upacara itu, saya tak bakal pernah bisa menikmati adegan pembantaian korban kerbau dan babi. Tak hanya ngeri melihat darah berceceran, saya juga tak tega mendengar lolong ketakutan hewan-hewan yang lehernya akan ditebas.