Membutuhkan pendamping hidup baru
Keinginan ini biasanya hanya dipendam sendiri karena berbagai alasan. Mulai dari malu terhadap anak-anak dan lingkungan (sudah tua kok, masih mikirin kawin lagi), takut dianggap menodai kesetiaan terhadap pasangan (yang sudah meninggal), takut kalau keinginan itu ditolak oleh anak-anak, atau karena merasa tidak mampu membiayai rumah tangga baru karena tidak lagi punya penghasilan sendiri.
Menurut Dewi, ini memang masalah yang susah-susah gampang. Di satu sisi, kita menyadari bahwa orang tua (biasanya ayah) masih punya kebutuhan seksual atau sangat membutuhkan pendamping hidup –yang perannya tidak bisa digantikan oleh anak-anaknya. Tapi keberatan yang paling sering datang dari pihak anak-anak biasanya menyangkut urusan harta (bila orang tua kita kaya), pilihan pasangan hidup (misalnya dianggap terlalu muda atau bukan ‘orang baik-baik’), atau urusan biaya hidup untuk rumah tangga baru orang tuanya –padahal untuk kehidupan sehari-hari saja masih harus disokong oleh anak-anak, yang hidupnya juga pas-pasan.
“Komunikasikan hal ini baik-baik dengan orang tua. Buatlah beberapa kesepakatan bersama untuk mengantisipasi masalah-masalah yang bisa timbul di kemudian hari bila orang tua kita memutuskan untuk menikah lagi. Misalnya dengan membuat perjanjian pisah harta yang adil bagi semua pihak (termasuk bagi istri/suami baru mereka), atau membuat kesepakatan bahwa anak-anak hanya bisa menyokong secukupnya kebutuhan rumah tangga baru orang tuanya. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sikap dewasa dan realistis dari semua pihak, dan masing-masing harus membuang sikap egoistis,” kata Dewi. Toh, bila orang tua kita bisa berbahagia lagi bersama pendamping barunya serta lebih ‘terurus’ hidupnya, tentu kita pun ikut bahagia, bukan?
Tina Savitri