Dinny lalu membeli beberapa kain tenun, dibawa ke Jakarta, lalu dikonsultasikan kepada teman-temannya yang sudah terlebih dahulu berkecimpung di bisnis kain. Ia ingin membangkitkan kembali gairah para penenun wanita Toraja dengan mengapresiasi hasil karya mereka dalam bentuk produk berkualitas. Dinny lantas melakukan berbagai riset ke kampung-kampung dan memilih sejumlah workshop di mana ia bisa bekerja sama. Dari sanalah ia mengetahui bahwa kebanyakan hasil tenun yang ada kualitasnya masih seadanya.
Merasa terpanggil untuk meningkatkan kualitas tenun Toraja, ia lantas mengajak para penenun untuk kembali ke serat alam dan pewarnaan alami. Namun proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, sementara ia khawatir para penenun tua yang ahli di bidangnya keburu meninggal dan ilmunya ikut terkubur selamanya. Ambil contoh, ada motif tenun toraja yang rumit, yang hanya dapat dilakukan – dengan halus - oleh dua wanita yang sudah nenek-nenek. Apa boleh buat, akhirnya hanya membeli tenun-tenun yang ada, lalu mengolahnya kembali di Jakarta.
Merasa terpanggil untuk meningkatkan kualitas tenun Toraja, ia lantas mengajak para penenun untuk kembali ke serat alam dan pewarnaan alami. Namun proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, sementara ia khawatir para penenun tua yang ahli di bidangnya keburu meninggal dan ilmunya ikut terkubur selamanya. Ambil contoh, ada motif tenun toraja yang rumit, yang hanya dapat dilakukan – dengan halus - oleh dua wanita yang sudah nenek-nenek. Apa boleh buat, akhirnya hanya membeli tenun-tenun yang ada, lalu mengolahnya kembali di Jakarta.
Untuk mengembangkan pasar, Dinny mengadakan riset mengenai warna-warna yang laku di pasaran dunia, mulai dari Jakarta hingga kota-kota besar di Eropa, Amerika, dan Jepang. Ia lalu memperkenalkan secara perlahan warna-warna tersebut kepada para penenun di Toraja yang masih merasa asing. Maklum, selama ini mereka hanya mengenal warna-warna khas Toraja, seperti hitam, putih, merah, dan kuning.