“Mengajari para penenun membuat warna-warna baru pun susahnya bukan main, makan waktu lama, namun sangat menantang. Perlu waktu 6 bulan sampai kami bisa membujuk mereka agar mau menenun dengan warna-wana yang kami sediakan, sambil pelan-pelan memperbaiki kualitasnya. Semuanya butuh pendekatan sosial dan kultural,” tuturnya. Melihat Dinny jungkir balik mengurus tenun seorang diri, adiknya, Nina Jusuf, yang lulusan desain fashion dari San Fransisco, lalu bergabung mengurus Toraja Melo, dan melepaskan semua kehidupannya di San Fransisco. Tentu saja Dinny sangat bersyukur karena bebannya jadi berkurang.
Dinny membayar lebih untuk hasil tenunan yang baik atau yang mempunyai motif rumit, agar para penenun termotivasi untuk bekerja lebih baik. Terbukti kini jumlah penenun yang ada terus berkembang. Untuk membeli tenun-tenun itu ia merogoh koceknya sendiri. Ia rela keluar uang banyak, karena ia menyasar pasar premium yang mengutamakan kualitas dan ekslusivitas. “Motif tenun toraja sebenarnya sangat sederhana, karena itu kami harus membuat sesuatu yang lebih funky dengan kualitas baik,” ia menambahkan.
(bersambung)