Melukis Senja
Sebagai salah satu pulau terluar di Indonesia dan yang letaknya jauh lebih dekat ke Australia ketimbang ke Ambon, berkunjung ke Letti memang perlu usaha ekstra. Bagaimana tidak, saya membutuhkan waktu sekitar 4,5 jam di kapal kayu, melintasi ombak lautan di timur-selatan Indonesia, yang sukses membuat saya – yang tak pernah mabuk laut — harus menyerah kalah. Apalagi ditambah dengan hujan di tengah laut. Tapi, rasa lemas dan pusing saya seketika hilang saat nahkoda kapal yang mengemudikan kapal dengan kakinya ini berteriak, “Letti! Ayo, merapat!”.
Melogok ke luar, saya langsung tahu bahwa keindahan pantai-pantai Indonesia Timur memang luar biasa, termasuk pantai Pulau Letti. Mata saya langsung menangkap pulau kecil dengan barisan bukit kehijauan yang beralaskan pasir putih gading dan dikelilingi laut biru. Kapal saya merapat ke dermaga kayu, yang berdiri kokoh di atas air laut yang — saking saking jernihnya— saya bisa melihat ikan melintas ke sana ke mari di bawah dermaga.
Tak ada penjaja minuman atau suvenir di sepanjang pantai yang sepi ini. Pandangan mata saya bahkan tak terhalang oleh bukit karang atau apa pun. Sejauh mata memandang hanya cerahnya langit yang berpadu pekatnya laut biru dan desiran ombak. Meski pasirnya tak terlalu empuk, gradasi lembut hijau jernih, biru muda, dan biru pekat jelas sangat menggoda. Rasanya ingin segera nyebur.
Saat senja datang, saya melihat dengan jelas panorama matahari yang perlahan turun. Senja yang sunyi. Benar-benar sunyi. Tak ada suara burung, apalagi suara mobil atau motor seperti di Pantai Kuta di Bali. Juga tak ada suara tawa cekikikan pasangan muda- mudi. Yang ada hanya saya, laut, dan langit yang kian memerah. Matahari yang memudar beringsut kian tenggelam di ujung laut.
Bila sunyi melamunkan saya di Letti, di Kisar saya justru merasa seperti bertualang di film Lord of The Ring. Berbekal promosi warga tentang keindahan Pantai Kiasar, saya dan teman-teman bersemangat menuju pantai ini. Bila, ke Letti saya harus mengarungi samudra, menuju pantai Kisar saya harus naik-turun bukit dengan pemandangan yang tiap sudutnya seolah minta difoto, melewati jalan setapak berbatu yang dibangun swadaya dengan rapi oleh warga Kisar.