Saya masih memperhatikan umat Buddha beribadah di situ, ketika Lini (pemandu wisata saya) mengingatkan, sudah waktunya kami ke stasiun kereta gantung. Tepat pukul 11 kami masuk kereta gantung besar yang memuat 60 orang sekali jalan. Di dalamnya, bila kita mengengok ke kanan, akan tampak Patung Buddha, dan di sebelah kiri tampak laut timur Korea.
Begitu turun dari kereta ada jalan menanjak menuju Gwonggeumseong Fortress, yang — menurut Lini — sayang bila tidak dilihat. Maka saya pun menguat-nguatkan kaki untuk mendaki ratusan anak tangga yang kadang berbelok-belok dan lumayan curam, sampai akhirnya, setelah sekitar setengah jam penuh perjuangan, tiba di semacam pelataran yang terdiri dari bebatuan. Nun jauh di sebelah kanan masih ada bukit untuk didaki, dan kelihatan sudah ada orang yang menancapkan bendera tanda sukses tiba di puncak. Tapi bagi saya dan kebanyakan orang, sampai di sini saja cukuplah. Saya sudah merasa puas bisa menatap berkeliling ke laut timur dan kota Sokcho.
Gwonggeumseong Fortress merupakan reruntuhan benteng. Separuhnya yang tersisa membentuk puluhan gundukan batu. Benteng ini terletak di Gunung Dol yang curam di Pegunungan Soreaksan. Diyakini dibangun atas prakarsa Gojong, raja ke-23 Dinasti Goryeo (1213-1259. Benteng ini dibangun oleh Jenderal Gwon dan Geum pada abad ke-3 untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Mongolia. Justru dari nama Gwon dan Feum inilah benteng ini mendapat namanya. Pada Agustus 1982, derah sekitar Gunung Seorak ini ditetapkan sebagai Biosphere Preservation District oleh UNESCO.